Jumat, 12 Agustus 2016

3 Waktu Utama Membaca Ayat Kursi

1- Ketika pagi dan petang

Mengenai orang yang membaca ayat kursi di pagi dan petang hari, dari Ubay bin Ka’ab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَرَأَتْهَا غُدْوَةً أُجِرَتْ مِنَّا حَتَّى تُمْسِيَ ، وَإِذَا قَرَأَتْهَا حِيْنَ تُمْسِي أُجِرَتْ مِنَّا حَتَّى تُصْبِحَ
Siapa yang membacanya ketika petang, maka ia akan dilindungi (oleh Allah dari berbagai gangguan) hingga pagi. Siapa yang membacanya ketika pagi, maka ia akan dilindungi hingga petang.” (HR. Al Hakim 1: 562. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits tersebut dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 655)

2- Sebelum tidur

Hal ini dapat dilihat dari pengaduan Abu Hurairah pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang mengajarkan padanya ayat kursi.
دَعْنِى أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا . قُلْتُ مَا هُوَ قَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ . فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ ، فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ » . قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِى كَلِمَاتٍ ، يَنْفَعُنِى اللَّهُ بِهَا ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ . قَالَ « مَا هِىَ » . قُلْتُ قَالَ لِى إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ مِنْ أَوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) وَقَالَ لِى لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ ، وَكَانُوا أَحْرَصَ شَىْءٍ عَلَى الْخَيْرِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ » . قَالَ لاَ . قَالَ « ذَاكَ شَيْطَانٌ »

Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kalimat yang Allah beri manfaat padaku jika membacanya. Sehingga aku pun melepaskan dirinya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat tersebut?” Abu Hurairah menjawab, “Ia mengatakan padaku, jika aku hendak pergi tidur di ranjang, hendaklah membaca ayat kursi hingga selesai yaitu bacaan ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’. Lalu ia mengatakan padaku bahwa Allah akan senantiasa menjagaku dan setan pun tidak akan mendekatimu hingga pagi hari. Dan para sahabat lebih semangat dalam melakukan kebaikan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Adapun dia kala itu berkata benar, namun asalnya dia pendusta. Engkau tahu siapa yang bercakap denganmu sampai tiga malam itu, wahai Abu Hurairah?” “Tidak”, jawab Abu Hurairah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari no. 2311)

3- Setelah shalat lima waktu

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الكُرْسِيِّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُوْلِ الجَنَّةِ اِلاَّ اَنْ يَمُوْتَ
Siapa membaca ayat Kursi setiap selesai shalat, tidak ada yang menghalanginya masuk surga selain kematian.” (HR. An-Nasai dalam Al Kubro 9: 44. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, sebagaimana disebut oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram). Maksudnya, tidak ada yang menghalanginya masuk surga ketika mati.


Wudu dan Keutamaannya



Keutamaan Wudhu
Dari Humran bekas budak Utsman radhiyallahu’anhu. Humran berkata:
سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَهُوَ بِفِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ عِنْدَ الْعَصْرِ فَدَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَالَ وَاللَّهِ لأُحَدِّثَنَّكُمْ حَدِيثًا لَوْلاَ آيَةٌ فِى كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثْتُكُمْ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لاَ يَتَوَضَّأُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ فَيُصَلِّى صَلاَةً إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلاَةِ الَّتِى تَلِيهَا ».
Aku mendengar Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu ketika dia berada di halaman masjid kemudian datang seorang mu’adzin menjelang waktu Ashar tiba. Maka Utsman meminta diambilkan air wudhu, lalu dia berwudhu. Setelah itu dia berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan menceritakan kepada kalian sebuah hadits. Kalaulah bukan karena suatu ayat di dalam Kitabullah niscaya aku tidak akan menuturkannya kepada kalian. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah seorang muslim berwudhu dan membaguskan wudhunya kemudian mengerjakan sholat melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosanya sejak saat itu sampai sholat yang berikutnya.’.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ – أَوِ الْمُؤْمِنُ – فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوبِ ».
“Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, kemudian dia membasuh wajahnya maka akan keluar dari wajahnya bersama air itu -atau bersama tetesan air yang terakhir- segala kesalahan yang dia lakukan dengan pandangan kedua matanya. Apabila dia membasuh kedua tangannya maka akan keluar dari kedua tangannya bersama air itu -atau bersama tetesan air yang terakhir- segala kesalahan yang dia lakukan dengan kedua tangannya. Apabila dia membasuh kedua kakinya maka akan keluar bersama air -atau bersama tetesan air yang terakhir- segala kesalahan yang dia lakukan dengan kedua kakinya, sampai akhirnya dia akan keluar dalam keadaan bersih dari dosa-dosa.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Faidah:
Setelah menerangkan kandungan hadits di atas, an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat pula dalil untuk membantah kaum Rafidhah/Syi’ah dan argumentasi yang meruntuhkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa yang wajib adalah cukup mengusap kedua kaki -tidak membasuhnya, pent-.” (Syarh Muslim [3/34]).
Hal itu disebabkan di dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan keluarnya dosa itu dari kaki apabila orang yang berwudhu itu membasuh kakinya, maka ini menunjukkan bahwa mengusapnya -sebagaimana yang dianut oleh kaum Rafidhah- tidaklah mencukupi. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh an-Nawawi -semoga Allah merahmatinya- dan alangkah jeleknya ucapan kaum Rafidhah!
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ ».
“Barang siapa yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, maka akan keluarlah dosa-dosa dari badannya, sampai-sampai ia akan keluar dari bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ». قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ».
“Maukah kutunjukkan kepada kalian sesuatu yang dapat menjadi sebab Allah menghapuskan dosa-dosa dan meninggikan derajat.” Mereka -para sahabat- menjawab, “Tentu saja mau, wahai Rasulullah.” Maka beliau menjawab, “Yaitu menyempurnakan wudhu dalam kondisi yang tidak menyenangkan, memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu sholat berikutnya sesudah mengerjakan sholat, maka itulah ribath.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud isbaghul wudhu’ adalah menyempurnakannya. Adapun yang dimaksud kondisi yang tidak menyenangkan adalah dingin yang sangat menusuk, luka yang ada di badan, dan lain sebagainya.” (Syarh Muslim [3/41] cet. Dar Ibn al-Haitsam).
Berniat
Dari Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu, dia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ».
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya itu akan diterima oleh Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena perkara dunia yang ingin dia peroleh atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya hanya akan mendapat balasan sebagaimana yang diniatkannya.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Imarah, diriwayatkan juga oleh Bukhari)
Membaca bismilah sebelum wudhu
Dari Rabah bin Abdurrahman bin Abu Sufyan bin Huwaithib dari neneknya dari bapaknya, dia (bapaknya, yaitu Sa’id bin Zaid, pent) berkata :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi [1/25] namun dilemahkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-’Ilal al-Mutanahiyah [1/337] as-Syamilah).
Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Ahmad bin Hanbal mengatakan, ‘Aku tidak mengetahui di dalam bab ini satu hadits pun yang sanadnya bagus’. Ishaq mengatakan, ‘Apabila ada yang meninggalkan tasmiyah -ucapan bismillah- secara sengaja maka dia harus mengulangi wudhu, namun apabila dia lupa atau menta’wil maka dinilai sah wudhunya itu.’ Muhammad bin Isma’il -Imam Bukhari- mengatakan, ‘Riwayat yang paling bagus di dalam bab ini adalah hadits Rabah bin Abdurrahman -yaitu hadits di atas-.’.” (Sunan Tirmidzi [1/37] as-Syamilah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu. Dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah ta’ala atasnya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/179] as-Syamilah)
Syaikh al-Albani rahimahullah mengomentari hadits riwayat Abu Dawud di atas, “Saya katakan, ‘Ini adalah hadits yang sahih’. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Mundziri dan al-Hafizh al-’Asqalani. Hadits ini dinilai hasan oleh Ibnu as-Shalah -dalam Nata’ij al-Afkar-. al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, ‘Ini adalah hadits hasan atau sahih.’ Ibnu Abi syaibah mengatakan, ‘Ini hadits yang sah’.” (Shahih Abu Dawud [1/168-169] as-Syamilah)
Dari Katsir bin Zaid. Dia berkata: Rubaih bin Abdurrahman bin Abu Sa’id al-Khudri menuturkan kepadaku dari bapaknya dari kakeknya Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, dia berkata:Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya, diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah [1/68], hadits ini dilemahkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-’Ilal al-Mutanahiyah[1/337] as-Syamilah)
Setelah memaparkan jalur-jalur hadits dalam bab ini, akhirnya al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkesimpulan, “Yang tampak -dari hasil penelitian ini- adalah bahwasanya hadits-hadits tersebut sebagai satu kesatuan memunculkan kekuatan -periwayatan- sehingga menunjukkan bahwasanya hadits ini memang memiliki asal-usul yang jelas.” (Talkhish al-Habir [1/257], hal ini pun disetujui oleh al-Albani sebagaimana dalam Shahih Abu Dawud [1/171] as-Syamilah)
Mendahulukan bagian yang kanan
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya sangat menyukai mendahulukan yang kanan dalam hal mengenakan sandal, bersisir, bersuci, dan dalam segala macam urusan beliau.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’)
Membasuh kedua telapak tangan tiga kali
Dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Atha’ bin Yazid al-Laitsi mengabarkan kepadanya
أَنَّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاة
Humran bekas budak Utsman memberitakan kepadanya bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu meminta diambilkan air wudhu kemudian dia berwudhu dengan membasuh kedua telapan tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkumur-kumur dan ber-istintsar (mengeluarkan air yang dihirup ke hidung, pent). Kemudian dia membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kanannya hingga siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kiri seperti itu pula. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia membasuh kaki kanannya hingga mata kaki sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh kaki kiri seperti itu pula. Kemudian Utsman berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu berwudhu seperti yang kulakukan tadi. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti caraku berwudhu ini kemudian bangkit dan melakukan sholat dua raka’at dalam keadaan pikirannya tidak melayang-layang dalam urusan dunia niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” Ibnu Syihab mengatakan, “Para ulama kita dahulu mengatakan bahwa tata cara wudhu seperti ini merupakan tata cara wudhu paling sempurna yang hendaknya dilakukan oleh setiap orang.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah, diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’ dengan redaksi yang agak berbeda)
Berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali
Dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim al-Anshari, sedangkan beliau adalah tergolong sahabat Nabi. Dia -Yahya- berkata:
قِيلَ لَهُ تَوَضَّأْ لَنَا وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِإِنَاءٍ فَأَكْفَأَ مِنْهَا عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا كَانَ وُضُوءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ada yang berkata kepada Abdullah bin Zaid, “Lakukanlah wudhu untuk kami sebagaimana tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka dia meminta dibawakan sebuah bejana -berisi air- kemudian dia mengambil air itu dengan telapak tangannya dan membasuh keduanya dengan air tersebut, hal itu dilakukannya sebanyak tiga kali. Kemudian dia masukkan tangannya untuk mengambil air kemudian dikeluarkannya untuk dipakai berkumur-kumur dan ber-istinsyaq/menghirup air ke hidung dari cidukan satu telapak tangan, dia melakukannya sebanyak tiga kali. Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam air dan mengeluarkannya untuk membasuh wajahnya, dia melakukan itu sebanyak tiga kali. Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam air dan mengeluarkannya untuk membasuh kedua tangannya hingga dua siku, hal itu dilakukannya sebanyak dua kali-dua kali (kanan dan kiri, pent). Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam air dan dikeluarkannya untuk mengusap kepala dari arah depan ke belakang lalu kembali ke bagian depan lagi. Kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki. Kemudian dia mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah, diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’)
Dari Humran bekas budak Utsman,
أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِإِنَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مِرَارٍ فَغَسَلَهُمَا ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِى الإِنَاءِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ».
Dulu dia pernah melihat Utsman radhiyallahu’anhu meminta diambilkan bejana lalu dia menyiramkan air di atas kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali dan membasuh keduanya. Kemudian dia masukkan tangan kanannya di dalam bejana lalu berkumur-kumur dan beristintsar. Kemudian dia membasuh wajahnya tiga kali dan kedua tangannya hingga siku tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia melakukan sholat dua raka’at dan pikirannya tidak melayang-layang dalam urusan dunia, maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah, demikian juga Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’)
Dari Hammam bin Munabbih, dia berkata:
هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ ».
Ini adalah hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu’anhukepada kami dari Muhammad utusan Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dia menyebutkan beberapa hadits, di antaranya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apabila salah seorang dari kalian berwudhu maka hiruplah air dengan kedua lubang hidungnya kemudian keluarkanlah.”(HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِى أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لْيَنْثُرْ
“Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu maka masukkanlah air ke dalam hidungnya kemudian keluarkanlah.” (HR. Abu Dawud [1/53] disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/218] as-Syamilah)
Berwudhu dengan sekali basuhan
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, dia berkata,
تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّةً مَرَّةً
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu sekali-sekali -untuk tiap anggota badan yang dibersihkan- .” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’)
Berwudhu dengan dua kali basuhan
Dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dua kali-dua kali (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’).
Tidak boleh lebih dari tiga kali
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya,
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الطُّهُورُ فَدَعَا بِمَاءٍ فِى إِنَاءٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّاحَتَيْنِ فِى أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ عَلَى ظَاهِرِ أُذُنَيْهِ وَبِالسَّبَّاحَتَيْنِ بَاطِنَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ « هَكَذَا الْوُضُوءُ فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا أَوْ نَقَصَ فَقَدْ أَسَاءَ وَظَلَمَ ». أَوْ « ظَلَمَ وَأَسَاءَ ».
Bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah cara bersuci?”. Maka beliau pun meminta dibawakan air di dalam ember lalu beliau membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membasuh kedua lengannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengusap kepalanya lalu memasukkan dua jari telunjuknya ke dalam telinganya dan mengusap bagian luar daun telinga dengan kedua ibu jarinya, sedangkan kedua ibu jarinya digunakan untuk mengusap bagian dalam telinganya. Kemudian beliau membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali-tiga kali. Kemudian beliau berkata, “Demikianlah tata cara berwudhu. Barang siapa yang menambah atasnya atau mengurangi, sungguh dia telah berbuat jelek atau melakukan kezaliman.” atau “Berbuat kezaliman atau melakukan kejelekan.” (HR. Abu Dawud [1/51] disahihkan an-Nawawi dalam Syarh Muslim [3/30] dan dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani namun tanpa kata-kata ‘atau mengurangi’ sebab ini adalah lafazh yang syadz/menyimpang dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/213] as-Syamilah. Lihat juga keterangan Ibnu Hajar yang mengisyaratkan hal ini di dalam Fath al-Bari [1/283])
Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa wajib wudhu dengan sekali basuhan/usapan untuk tiap anggota badan yang dibersihkan.Selain itu beliau juga berwudhu dua kali-dua kali, dan tiga kali-tiga kali. Namun, beliau tidak pernah lebih dari tiga kali. Para ulama tidak menyenangi perbuatan israf/berlebihan dalam hal itu dan melampaui perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Sahih Bukhari, sebagaimana yang dicetak bersama Fath al-Bari [1/281])
Boleh berbeda bilangan ketika membasuh
Dari Amr dari bapaknya, dia berkata:
شَهِدْتُ عَمْرَو بْنَ أَبِي حَسَنٍ سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَيْدٍ عَنْ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ فَتَوَضَّأَ لَهُمْ وُضُوءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكْفَأَ عَلَى يَدِهِ مِنْ التَّوْرِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي التَّوْرِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثَ غَرَفَاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Aku melihat Amr bin bin Abi Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu mengenai tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dia pun meminta dibawakan sebuah ember yang berisi air. Kemudian dia berwudhu untuk mereka sebagaimana cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengambil air dengan tangan kemudian dituangkan di atas telapak tangannya dan membasuh kedua telapak tangan itu, sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam ember lalu berkumur-kumur, beristinsyaq dan beristintsar dengan tiga kali cidukan telapak tangan. Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam ember lalu membasuh wajahnya, sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua tangannya sebanyak dua kali hingga dua siku. Kemudian dia masukkan tangan ke dalam ember lalu mengusap kepalanya dari depan ke belakang terus ke depan lagi hanya sekali. Kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga kedua mata kaki. (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’, demikian juga Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Hadits ini menunjukkan bahwa boleh membedakan bilangan ketika membasuh. Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu. Beliau membasuh telapak tangan dan wajah tiga kali, sedangkan tangan hanya dua kali. Adapun kepala hanya sekali. an-Nawawi rahimahullah berkata, “Perbuatan ini boleh dilakukan, dan wudhu dengan tata cara seperti ini dinilai sah tanpa ada keraguan padanya. Namun yang disunnahkan adalah membersihkan anggota wudhu tiga kali-tiga kali, sebagaimana sudah kami terangkan.” (Syarh Muslim [3/25])
Wajib meratakan basuhan ke semua bagian yang harus dibersihkan
Dari Abu Zubair dari Jabir. Dia berkata:
أَخْبَرَنِى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى.
Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu mengabarkan kepadaku bahwa ada seorang lelaki yang berwudhu dan meninggalkan bagian yang tidak dibasuh di atas kakinya seukuran kuku, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya. Maka beliau bersabda, “Kembalilah, perbaikilah wudhumu.” Lalu dia pun kembali dan kemudian mengerjakan sholat (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung pelajaran bahwa barang siapa yang meninggalkan sebagian kecil dari bagian yang seharusnya dibersihkan maka bersuci/thaharahnya dinilai tidak sah, ini merupakan perkara yang sudah disepakati.” Beliau juga mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa barang siapa yang meninggalkan anggota badan yang harus dibersihkan dalam keadaan tidak mengetahuinya maka thaharahnya tidak sah.” (Syarh Muslim [3/33] cet Dar Ibn al-Haitsam)
Membasuh wajah dengan kedua telapak tangan tiga kali
Dari Atha’ bin Yasar dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَمَضْمَضَ بِهَا وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَجَعَلَ بِهَا هَكَذَا أَضَافَهَا إِلَى يَدِهِ الْأُخْرَى فَغَسَلَ بِهِمَا وَجْهَهُ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُمْنَى ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُسْرَى ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَرَشَّ عَلَى رِجْلِهِ الْيُمْنَى حَتَّى غَسَلَهَا ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً أُخْرَى فَغَسَلَ بِهَا رِجْلَهُ يَعْنِي الْيُسْرَى ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ
Suatu saat dia berwudhu dan sedang membasuh wajahnya. Dia mengambil seciduk air dengan telapak tangan lalu dia berkumur-kumur dengannya dan ber-istinsyaq. Kemudian dia mengambil seciduk air dengan satu telapak tangannya dan dituangkannya di atas telapak tangan yang satunya, kemudian dengan kedua belah telapak tangan itu dia membasuh wajahnya. Kemudian dia mengambil seciduk air untuk membasuh tangan kanannya, lalu mengambil seciduk air lagi untuk membasuh tangan kirinya. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia mengambil seciduk air dengan telapak tangannya lalu disiramkannya sedikit demi sedikit di kaki kanannya hingga terbasuh dengan sempurna. Kemudian dia mengambil seciduk lagi untuk membasuh kakinya, yaitu yang sebelah kiri. Kemudian dia -Ibnu Abbas- mengatakan, “Demikian itulah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan wudhu.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’)
Menyela-nyelai jenggot
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا أَمَرَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu apabila berwudhu maka beliau mengambil air dengan telapak tangannya kemudian dia masukkan ke bawah dagunya dan menyela-nyelai jenggotnya dengan air tersebut. Lantas beliau mengatakan, “Demikianlah yang diperintahkan oleh Rabbku ‘azza wa jalla.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/223] as-Syamilah)
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu biasa menyela-nyelai jenggotnya (HR. Tirmidzi dan beliau mengatakan hadits ini hasan sahih, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi [1/31]. Imam Tirmidzi mengatakan, “Muhammad bin Isma’il -yaitu Imam Bukhari- mengatakan bahwa riwayat paling sahih dalam bab ini adalah hadits yang dibawakan oleh ‘Amir bin Syaqiq dari Abu Wa’il dari Utsman bin Affan -yaitu hadits di atas-.” (Sunan Tirmidzi [1/53] as-Syamilah)
Membasuh tangan hingga siku, kanan tiga kali lalu kiri tiga kali
Habban bin Wasi’ menuturkan bahwa bapaknya menceritakan kepadanya
أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ الْمَازِنِيَّ يَذْكُرُ أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَضْمَضَ ثُمَّ اسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا وَالْأُخْرَى ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدِهِ وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ حَتَّى أَنْقَاهُمَا قَالَ أَبُو الطَّاهِرِ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ
Suatu ketika dia mendengar Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim al-Mazini radhiyallahu’anhu teringat bahwa dahulu dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu. Ketika itu, beliau berkumur-kumur kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari hidung). Kemudian beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali. Lalu membasuh tangan kanannya tiga kali demikian juga yang sebelah kiri tiga kali. Lalu beliau mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa air yang dipakai untuk membasuh tangannya tadi. Dan kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga rata dan bersih. Abu Thahir mengatakan: Ibnu Wahb menuturkan kepada kami dari Amr bin al-Harits (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Mengusap seluruh rambut kepala cukup sekali
Dari Abdurrahman bin Abi Laila, dia berkata:
رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً ثُمَّ قَالَ هَكَذَا تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Aku melihat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu melakukan wudhu, maka dia membasuh wajahnya tiga kali, membasuh kedua lengannya tiga kali, dan mengusap rambut kepalanya sekali saja. Kemudian Ali berkata, “Demikianlah cara berwudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud [1/193] as-Syamilah)
Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Banyak riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa beliau mengusap rambut kepalanya hanya sekali. Dan hal inilah yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama setelah mereka. Inilah yang dipegang oleh Ja’far bin Muhammad, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, as-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka berpendapat bahwa mengusap kepala cukup sekali saja.” (Sunan at-Tirmidzi [1/49] as-Syamilah)
Boleh mengusap tiga kali
Dari Humran, dia berkata:
رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ تَوَضَّأَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ وَقَالَ فِيهِ وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ هَكَذَا وَقَالَ مَنْ تَوَضَّأَ دُونَ هَذَا كَفَاهُ وَلَمْ يَذْكُرْ أَمْرَ الصَّلَاةِ
Aku melihat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu berwudhu. Kemudian dia menceritakan sebagaimana hadits sebelum ini, namun di dalamnya dia tidak menceritakan berkumur-kumur dan istinsyaq. Dan di dalam riwayat itu disebutkan bahwa Humran mengatakan: Dia -Utsman- mengusap rambut kepalanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua kakinya tiga kali. Lalu Utsman mengatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu demikian. Dan beliau bersabda, ‘Barang siapa yang berwudhu kurang dari ini maka hal itu pun mencukupi baginya.’ Dan dia tidak menyebutkan tentang perkara sholat (sebagaimana yang ada pada riwayat Muslim di atas, pent).” (HR. Abu Dawud, dinyatakan oleh al-Albani hasan sahih di dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/185] as-Syamilah)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa mengusap kepala tiga kali termasuk Sunnah (ajaran Nabi) adalah pendapat yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnul Mundzir dari Anas, Atha’ dan yang lainnya. Abu Dawud pun meriwayatkan keterangan itu -mengusap kepala tiga kali- melalui dua jalur yang salah satunya dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan ulama yang lain. Di dalam riwayat itu disebutkan bahwa Utsman mengusap kepalanya sebanyak tiga kali, sedangkan tambahan keterangan dari perawi yang terpercaya/tsiqah adalah informasi yang harus diterima (ziyadatu tsiqah maqbulah, istilah dalam ilmu hadits, pen), demikian papar al-Hafizh (silakan periksa Fath al-Bari [1/313], lihat juga keterangan Syaikh Dr. Abdul ‘Azhim Badawi hafizhahullah dalam kitabnya al-Wajiz, hal. 35)
Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-’Azhim Abadi rahimahullah mengatakan, “Kesimpulan hasil penelitian dalam masalah ini menunjukkan bahwa hadits-hadits yang menyebutkan sekali usapan adalah lebih banyak dan lebih sahih, dan ia lebih terjaga keabsahannya daripada hadits yang menyebutkan tiga kali usapan. Meskipun hadits-hadits tiga kali usapan tersebut juga berderajat sahih melalui sebagian jalannya, akan tetapi ia tidak bisa mengimbangi kekuatan hadits-hadits tersebut. Maka yang semestinya dipilih adalah mengusap sekali saja, walaupun mengusap tiga kali juga tidak mengapa.” (‘Aun al-Ma’bud [1/132] as-Syamilah)
Kedua telinga termasuk bagian kepala yang harus diusap
Dari Utsman bin Abdurrahman at-Taimi. Dia berkata:
سُئِلَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ الْوُضُوءِ فَقَالَ رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ سُئِلَ عَنْ الْوُضُوءِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأُتِيَ بِمِيضَأَةٍ فَأَصْغَاهَا عَلَى يَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ أَدْخَلَهَا فِي الْمَاءِ فَتَمَضْمَضَ ثَلَاثًا وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا وَغَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَأَخَذَ مَاءً فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ فَغَسَلَ بُطُونَهُمَا وَظُهُورَهُمَا مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُونَ عَنْ الْوُضُوءِ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ
Ibnu Abi Mulaikah pernah ditanya mengenai wudhu, maka dia menjawab: Aku pernah melihat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu ditanya tentang wudhu. Maka beliau meminta diambilkan air. Lalu didatangkan kepadanya sebuah timba berisi air lalu dia ambil air itu dengan memasukkan tangan kanannya ke dalam air. Kemudian dia berkumur-kumur tiga kali dan beristintsar tiga kali. Lalu dia membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kanannya tiga kali dan membasuh tangan yang kiri juga tiga kali. Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam timba itu dan mengambil air untuk mengusap kepala dan kedua daun telinganya. Dia membasuh (mengusap) bagian dalam kedua telinga itu dan bagian luarnya, dia melakukan itu hanya sekali. Kemudian dia membasuh kedua kakinya, lalu dia berkata, “Manakah orang-orang yang bertanya mengenai wudhu tadi? Demikian itu tadi cara berwudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang aku saksikan.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/186] as-Syamilah)
Diterangkan oleh penulis Syarah Sunan Abu Dawud bahwa hadits ini menunjukkan bahwa untuk mengusap telinga dipakai air yang sama dengan air yang dipakai untuk mengusap kepala. Dan yang dimaksud dengan kata ‘ghasala’ (membasuh) dalam hadits di atas ketika menceritakan tata cara mengusap telinga, maksudnya adalah ‘mengusap’ (lihat ‘Aun al-Ma’bud [1/131] as-Syamilah)
Membasuh kaki hingga mata kaki, kanan tiga kali lalu kiri tiga kali
Humran bekas budak Utsman memberitakan,
أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاة
Bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu meminta diambilkan air wudhu kemudian dia berwudhu dengan membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkumur-kumur dan ber-istintsar (mengeluarkan air yang dihirup ke hidung, pent). Kemudian dia membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kanannya hingga siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kiri seperti itu pula. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia membasuh kaki kanannya hingga mata kaki sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh kaki kiri seperti itu pula. Kemudian Utsman berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu berwudhu seperti yang kulakukan tadi. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti caraku berwudhu ini kemudian bangkit dan melakukan sholat dua raka’at dalam keadaan pikirannya tidak melayang-layang dalam urusan dunia niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” Ibnu Syihab mengatakan, “Para ulama kita dahulu mengatakan bahwa tata cara wudhu seperti ini merupakan tata cara wudhu paling sempurna yang hendaknya dilakukan oleh setiap orang.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah, diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’ dengan redaksi yang agak berbeda)
Kaki tidak cukup diusap
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, dia berkata:
تَخَلَّفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنَّا فِي سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقْنَا الْعَصْرَ فَجَعَلْنَا نَتَوَضَّأُ وَنَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنْ النَّارِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertinggal dari rombongan dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan. Kemudian beliau berhasil menyusul kami sementara waktu ‘Ashar sudah hampir habis. Kami pun tergesa-gesa berwudhu dan hanya mengusap kaki kami. Maka beliau pun berseru dengan suara yang tinggi, “Celakalah tumit-tumit yang tidak terbasuh air karena ia akan terkena panasnya api neraka.” Beliau mengucapkannya dua atau tiga kali (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’, demikian juga Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Dari Salim bekas budak Syaddad, dia berkata:
دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ تُوُفِّىَ سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ فَدَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِى بَكْرٍ فَتَوَضَّأَ عِنْدَهَا فَقَالَتْ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ أَسْبِغِ الْوُضُوءَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ ».
Suatu saat aku menemui Aisyah radhiyallahu’anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ketika hari wafatnya Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu’anhu. Maka Abdurrahman bin Abi Bakr pun masuk dan berwudhu di sisinya. Lalu Aisyah mengatakan, “Wahai Abdurrahman, sempurnakanlah wudhu. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Celakalah tumit-tumit -yang tidak terbasuh air itu- sebab ia terancam dengan api neraka.’.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Membaca doa setelah wudhu
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu, dia berkata:
كَانَتْ عَلَيْنَا رِعَايَةُ الْإِبِلِ فَجَاءَتْ نَوْبَتِي فَرَوَّحْتُهَا بِعَشِيٍّ فَأَدْرَكْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا يُحَدِّثُ النَّاسَ فَأَدْرَكْتُ مِنْ قَوْلِهِ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ مُقْبِلٌ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ قَالَ فَقُلْتُ مَا أَجْوَدَ هَذِهِ فَإِذَا قَائِلٌ بَيْنَ يَدَيَّ يَقُولُ الَّتِي قَبْلَهَا أَجْوَدُ فَنَظَرْتُ فَإِذَا عُمَرُ قَالَ إِنِّي قَدْ رَأَيْتُكَ جِئْتَ آنِفًا قَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ أَوْ فَيُسْبِغُ الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيِّ وَأَبِي عُثْمَانَ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرِ بْنِ مَالِكٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَذَكَرَ مِثْلَهُ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Dahulu kami memiliki tugas menjaga unta yang digembalakan. Maka ketika datang orang lain yang akan menggantikanku, maka aku pun pulang meninggalkannya ketika waktu sore sudah tiba. Kemudian aku menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sedang berdiri memberikan ceramah kepada orang-orang. Di antara sabda beliau yang kudengar adalah, “Tidaklah ada seorang muslim yang berwudhu dan membaguskan wudhunya lalu dia bangkit untuk melakukan sholat dua raka’at dengan hati dan wajah yang penuh konsentrasi di dalamnya melainkan dia pasti akan masuk ke dalam surga.” ‘Uqbah bin ‘Amir berkata: Aku mengatakan, “Alangkah indahnya hal ini.” Tiba-tiba orang lain yang berada di hadapanku berbicara, “Kata-kata sebelumnya lebih indah lagi.” Lalu aku perhatikan, ternyata orang itu adalah umar. Lalu Umar mengatakan, “Aku melihat kamu baru saja datang. [Nabi tadi mengatakan] Tidaklah ada seseorang di antara kalian yang berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya kemudian setelah itu dia membaca doa ‘Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan ‘abdullah warasuluh’ melainkan akan dibukakan baginya delapan pintu surga yang dia akan dipersilakan untuk masuk melalui pintu mana pun yang dia inginkan.”
Imam Muslim mengatakan: Abu Bakr bin Abi Syaibah juga menuturkan kepada kami. Dia berkata: Zaid bin al-Hubab menuturkan kepada kami. Dia berkata: Mu’waiyah bin Shalih menuturkan kepada kami dari Rabi’ah bin Yazid dari Abu Idris al-Khaulani dan Abu Utsman dari Jubair bin Nufair bin Malik al-Hadhrami, dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, kemudian dia menyebutkan hadits serupa. Hanya saja di dalam hadits ini beliau mengatakan, “Barang siapa yang berwudhu lalu membaca ‘asyhadu an laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariika lah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh’.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)

KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH DAN AMALAN YANG DISYARIATKAN

KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH DAN AMALAN YANG DISYARIATKAN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan segenap sahabatnya.
روى البخاري رحمه الله عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام – يعني أيام العشر – قالوا : يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله ؟ قال ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ثم لم يرجع من ذلك بشيء
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, rahimahullah, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun”.
وروى الإمام أحمد رحمه الله عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من أيام أعظم ولا احب إلى الله العمل فيهن من هذه الأيام العشر فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد
وروى ابن حبان رحمه الله في صحيحه عن جابر رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أفضل الأيام يوم عرفة.
“Imam Ahmad, rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid”.
MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN
1. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah
Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain : sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة
“Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga”.
2. Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi :
الصوم لي وأنا أجزي به ، انه ترك شهوته وطعامه وشرابه من أجلي
“Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku”.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ما من عبد يصوم يوماً في سبيل الله ، إلا باعد الله بذلك اليوم وجهه عن النار سبعين خريف
“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun”. [Hadits Muttafaqun ‘Alaih].
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah rahimahullah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده .
“Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya”.
3. Takbir Dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala.
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“…. dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan …”. [al-Hajj/22 : 28].
Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma.
فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد
“Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid”. [Hadits Riwayat Ahmad].
Imam Bukhari rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha’, tabiin bahwa pada hari-hari ini mengucapkan :
الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر ولله الحمد
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah”.
Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah.
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu …”. [al-Baqarah/2 : 185].
Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku pada semua dzikir dan do’a, kecuali karena tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.
Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti : takbir, tasbih dan do’a-do’a lainnya yang disyariatkan.
4. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan Dosa.
Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan keta’atan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.
Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
ان الله يغار وغيرة الله أن يأتي المرء ما حرم الله علي
“Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya” [Hadits Muttafaqun ‘Alaihi].
5. Banyak Beramal Shalih.
Berupa ibadah sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.
6. Disyariatkan Pada Hari-Hari Itu Takbir Muthlaq
Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama’ah ; bagi selain jama’ah haji dimulai dari sejak Fajar Hari Arafah dan bagi Jama’ah Haji dimulai sejak Dzhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq.
7. Berkurban Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-Hari Tasyriq.
Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, yakni ketika Allah Ta’ala menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين أملحين أقرنين ذبحهما بيده وسمى وكبّر ووضع رجله على صفاحهما
“Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu”. [Muttafaqun ‘Alaihi].
8. Dilarang Mencabut Atau Memotong Rambut Dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berkurban.
Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضّحي فليمسك عن شعره وأظفاره
“Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya”.
Dalam riwayat lain :
فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره حتى يضحي
“Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban”.
Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah.
وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّه
“….. dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan…”. [al-Baqarah/2 : 196].
Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.
9. Melaksanakan Shalat Iedul Adha Dan Mendengarkan Khutbahnya.
Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan ; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti ; nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari.
10. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.
Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan ; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

Tanda - Tanda Kiamat

Ibn Mas’ud pernah bertanya pada Rasulullah, “Ya Rasululullah, apakah datangnya hari kiamat disertai tanda-tanda kedatangannya?” Dia bersabda “Ya, wahai Ibn Mas’ud.”
Jadi kita sebagai Muslim harus mengetahui tanda-tandanya. Ada banyak tanda-tandanya. Di antaranya adalah:
Anak-anak menjadi penuh kemarahan. Dengan kata lain, mereka berani melawan orangtua mereka. Mereka tidak segan-segan berkata kasar dan menghardik orangtua mereka.
Hujan dapat membakar. Jika kita menganalisisnya, hal ini telah terjadi. Sekarang hujan asam semakin sering terjadi. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang hujan asam, anda bisa mengunjungi link Wikipedia berikut ini: Hujan Asam.

Orang-orang jahat bertebaran di muka bumi.
Orang-orang akan mempercayai orang-orang yang berkhianat, sedangkan  orang-orang yang dapat dipercaya dianggap sebagai pengkhianat. Orang yang benar akan dianggap sebagai pendusta dan seseorang yang menceritakan kebohongan dianggap sebagai orang yang benar.
Orang-orang akan memutuskan tali silaturahmi. Hal ini telah terjadi sekarang dimana orang-orang lebih senang tinggal di rumah dan menonton televisi, dan mereka enggan mengunjungi tetangga.
Orang-orang munafik akan berkuasa.
Orang-orang yang berperangai buruk mengendalikan perdagangan.
Masjid-masjid dihias tapi hati manusia telah menjadi kotor. Jadi orang-orang yang beribadah di masjid tidak melakukan tazkiyah, meskipun masjidnya indah.
Orang-orang mukmin menjadi lebih terhina daripada kambing yang jelek.
Homoseksualitas dan lesbianisme tersebar luas.
Orang-orang muda mempunyai kekayaan besar-besaran. Misalnya Zuckerberg yang merupakan multi-bilyuner sebelum dia mencapai umur 30.
Adanya perkumpulan-perkumpulan untuk merusak wanita. Sekarang banyak organisasi wanita yang mengatakan ingin membebaskan wanita, namun mereka malah mempromosikan wanita untuk membuka auratnya. Misalnya kontes seperti Miss World dimana para wanita disuruh mempertontonkan auratnya dan memperlihatkan keindahan tubuhnya. Hal seperti ini justru menghancurkan kemuliaan wanita. Dalam Islam, wanita disuruh menutup auratnya agar kemuliaan dan kehormatannya terjaga. Namun yang dilakukan budaya zaman sekarang justru sebaliknya. Wanita malah disuruh untuk membuka auratnya. Dan auratnya tersebut menjadi tontonan orang banyak. Benar-benar dunia telah menjadi begitu sakit.
Terjadinya penghancuran peradaban dan penghancuran dunia. Jadi penghancuran dunia akan menjadi peradaban.
Instrumen musik akan tersebar luas dan Rasulullah bersabda bahwa instrumen musik akan ada di kepala manusia. Ini menakjubkan sekali. Bagaimana Rasulullah tahu tentang hal ini? Itulah yang dikatakan hadistnya, saya tidak mengarang-ngarangnya. Dikatakan bahwa “Di kepala mereka akan ada instrumen musik.” Siapa yang sangka? Tidak ada yang tahu apa itu artinya di zaman Rasulullah. Tapi sekarang kita melihatnya, semua orang dimana-mana mengenakan headphone dan earphone untuk mendengarkan musik.
Akan ada banyak penegak hukum.
Maraknya penghinaan untuk membuat orang lain tertawa. Sekarang lihatlah semua acara TV dimana para pelawak hanya mencela orang-orang untuk membuat pemirsa di rumah tertawa.
Banyak anak-anak yang lahir karena perzinaan. Bahkan di negara ini sekarang lebih dari 50% anak SMA telah melakukan perzinaan. Luar biasa.
Rasulullah bersabda bahwa cobaan akan ditunjukkan kepada hati manusia seperti sajadah. Dia mempunyai dua garis, yang horizontal dan vertikal. Ini maksudnya adalah TV. Dan beginilah caranya setan menghancurkan hati manusia, dengan menunjukkan fitnah pada manusia dan gambar-gambar jelek pada TV. Setan melakukannya terus-menerus sampai manusia menjadi terbiasa dengan kekerasan yang ada dalam tayangan TV. Kita tidak lagi merasakan apapun ketika melihat kekerasan.
Rasulullah s.a.w bersabda, “Kamu akan melihat orang-orang dengan cambuk seperti ekor sapi. Mereka akan memukul manusia dengannya.”
Wanita yang berpakaian dan telanjang pada saat bersamaan. Mereka akan berjalan berlenggak-lenggok dan membuat menarik orang lain kepada mereka. Dia berkata bahwa rambut mereka akan seperti unta Bactrian. Unta itu tidak ada di Arab, melainkan berasal dari Persia. Wanita-wanita seperti itu tidak akan masuk surga.
Dia bersabda “Sebagian umatku akan meminum khamr dan memanggilnya dengan nama lain.” Mereka mempunyai banyak nama panggilan untuk khamr. Dan ini sudah terjadi. Kita memanggil khamr dengan berbagai sebutan, misalnya vodka, tuak, martini, wine, anggur, bir, dan sebagainya.
Jadi inilah tanda-tanda dari hari kiamat yang sekarang telah terjadi. Ya Allah, Rasulullah telah berbicara benar dan nubuatnya menjadi kenyataan. Bagi saya ini adalah mukjizat kenabian yang nyata dari Rasulullah.

Keutamaan Sholat Berjama'ah


Shalat berjamaah merupakan syi'ar islam yang sangat agung, menyerupai shafnya malaikat ketika mereka beribadah, dan ibarat pasukan dalam suatu peperangan, ia merupakan sebab terjalinnya saling mencintai sesama muslim, saling mengenal, saling mengasihi, saling menyayangi, menampakkan kekuatan, dan kesatuan.

Allah menysyari'atkan bagi umat islam berkumpul pada waktu-waktu tertentu, di antaranya ada yang setiap satu hari satu malam seperti shalat lima waktu, ada yang satu kali dalam seminggu, seperti shalat jum'at, ada yang satu tahun dua kali di setiap Negara seperti dua hari raya, dan ada yang satu kali dalam setahun bagi umat islam keseluruhan seperti wukuf di arafah, ada pula yang dilakukan pada kondisi tertentu seperti shalat istisqa' dan shalat kusuf.

Hukumnya

Shalat berjamaah wajib atas setiap muslim yang mukallaf, laki-laki yang mampu, untuk shalat lima waktu, baik dalam perjalanan maupun mukim, dalam keadaan aman, maupun takut.
Keutamaan shalat berjamaah di masjid
Dari Ibnu Umar ra bahwasanya rasulullah bersabda: shalat berjamah lebih utama daripada shalat sendirian dengan tujuh puluh derajat. Dalam riwayat lain: dengan dua puluh lima derajat. Muttafaq alaih ([1]).
Dari Abu Hurairah ra berkata: rasulullah saw bersabda: ((barangsiapa yang bersuci di rumahnya, kemudian pergi ke salah satu rumah Allah, untuk melaksanakan salah satu kewajiban terhadap Allah, maka kedua langkahnya yang satu menghapuskan kesalahan, dan yang lain meninggikan derajat)) ([2]).
Dari Abu Hurairah bahwasanya nabi saw bersabda: (barangsiapa yang pergi ke masjid di waktu pagi atau di waktu sore, maka Allah menyiapkan baginya makanan setiap kali pergi pagi atau sore) muttafaq alaih ([3]).
Yang lebih utama bagi seorang muslim, shalat di masjid yang dekat dengan tempat ia tinggal, kecuali masjidil haram, masjid nabawi, dan masjidil aqsha, karena shalat pada masjid-masjid tersebut lebih utama secara mutlak.
Boleh shalat berjamaah di masjid yang telah didirikan shalat berjamaah pada waktu itu.
Orang-orang yang berjaga di pos pertahanan disunnahkan shalat di satu masjid, apabila mereka takut serangan musuh jika berkumpul, maka masing-masing shalat di tempatnya.
Hukum wanita pergi ke masjid: Boleh wanita ikut shalat berjamaah di masjid terpisah dari jamaah laki-laki dan ada penghalang antara mereka, dan disunnahkan mereka shalat berjamaah sendiri terpisah dari jamaah laki-laki, baik yang menjadi imam dari mereka sendiri maupun orang laki-laki.

Dari Ibnu Umra ra dari nabi saw bersabda: ((apabila isteri-isteri kalian minta izin untuk pergi ke masjid di malam hari, maka izinkanlah)) muttafaq alaih ([4]).
Siapa yang masuk masjid ketika jamaah sedang ruku' maka ia boleh langsung ruku' ketika masuk kemudian berjalan sambil ruku' hingga masuk ke shaf, dan boleh berjalan kemudian ruku' apabila sudah sampai ke shaf.
Jamaah paling sedikit dua orang, dan semakin banyak jamaahnya, semakin baik shalatnya, dan lebih dicintai oleh Allah azza wajalla.
Siapa yang sudah shalat fardhu di kendaraannya kemudia masuk masjid dan mendapatkan orang-orang sedang shalat, maka sunnah ikut shalat bersama mereka, dan itu baginya menjadi shalat sunnah, demikian pula apabila telah shalat berjamaah di suatu masjid kemudian masuk masjid lain dan mendapatkan mereka sedang shalat.
Apabila sudah dikumandangkan iqomah untuk shalat fardhu, maka tidak boleh shalat kecuali shalat fardhu, dan apabila dikumandangkan iqomah ketika ia sedang shalat sunnah, maka diselesaikan dengan cepat, lalu masuk ke jamaah agar mendapatkan takbiratul ihram bersama imam.
Siapa yang tidak shalat berjamaah di masjid, jika karena ada halangan sakit atau takut, atau lainnya, maka ditulis baginya pahala orang yang shalat berjamaah, dan apabila meninggalkan shalat berjamaah tanpa ada halangan dan shalat sendirian maka shalatnya sah, namun ia rugi besar tidak mendapatkan pahala jamaah, dan berdosa besar.
Keutamaan shalat berjamaah dan takbiratul ihram: Dari Anas bin Malik ra berkata: rasulullah saw bersabda: ((barangsiapa yang shalat berjamaah untuk Allah selama empat puluh hari, dimana ia mendapatkan takbiratul ihram bersama imam, maka ditulis baginya dua kebebasan: bebas dari neraka, dan terbebas dari sifat munafik)) (HR. Tirmidzi) ([5]).

Hukum Menjadi Imam
Menjadi Imam mempunyai keutamaan yang sangat agung, oleh karena pentingnya maka nabi melakukannya sendiri, demikian pula para khulafaurrasyidin sesudah beliau.
Imam mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, jika melaksanakan tugasnya dengan baik, ia mendapat pahala yang sangat besar, dan ia mendapat pahala seperti orang yang shalat bersamanya.
Hukum mengikuti imam: Makmum wajib mengikuti imam dalam seluruh shalatnya, berdasarkan sabda rasulullah saw: ((Imam dijadikan tidak lain untuk diikuti, apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan apabila ruku' maka ruku'lah, dan jika mengatakan: sami'allahu liman hamidah, maka katakan: allahumma rabbana lakal hamdu, apabila imam shalat berdiri maka shalatlah berdiri, dan jika shalat duduk, maka shalatlah kalian semua duduk)) muttafaq alaih ([6]).
Yang paling berhak menjadi imam: Yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling banyak hafal al-Qur'an dan mengerti hukum-hukum shalat, kemudian yang paling mengerti hadits, kemudian yang paling dulu hijrah, kemudian yang paling dahulu masuk islam, kemudian yang paling tua, kemudian diundi, ini apabila tiba waktu shalat dan hendak memilih salah satu imam, namun jika di masjid ada imam tetap, maka ia lebih berhak.

Dari Abu Mas'ud al-Anshari ra berkata: rasulullah bersabda: Yang menjadi imam adalah orang yang paling banyak mengahafal al-Qur'an, apabila dalam hafalam al-Qur'an sama, maka yang paling mengeri hadits, jika dalam masalah hadits sama, maka yang lebih dahulu hijrah, dan jika berhijrahnya sama, m aka yang lebih dulu masuk islam. (HR. Muslim) ([7]).
Penghuni rumah dan imam masjid lebih berhak menjadi imam, kecuali penguasa.
Wajib mendahulukan yang lebih utama untuk menjadi imam, jika tidak ada kecuali orang fasik, seperti yang mencukur jenggotnya, atau merokok dsb, sah menjadi imam, adapun orang fasik adalah: orang yang melakukan dosa besar yang tidak sampai ke batas kafir, atau terus-menerus melakukan dosa kecil, dan tidak sah bermakmum kepada orang yang rusak shalatnya karena berhadats dan lainnya kecuali kalau tidak tahu, maka shalat makmum sah, dan imam wajib mengulangi.
Haram mendahului imam dalam shalat, dan barangsiapa yang dengan sengaja maka shalatnya batal, adapun tertinggal dari imam, jika tertinggal karena ada halangan seperti lupa atau tidak mendengar suara imam sehingga ketinggalan, maka langsung melakukan yang ketinggalan dan langsung mengikuti imam
Antara imam dan makmum ada empat hal: 
  1. Mendahului: yakni, makmum mendahului imam dalam bertakbir, atau ruku, atau sujud, atau salam, dan lainnya. Perbuatan ini tidak boleh, dan barangsiapa yang melakukannya maka hendaklah kembali melakukannya setelah imam, jika tidak, maka shalatnya batal.
  2. Bersamaan: yaitu: gerakan imam dan makmum bersamaan, baik dalam berpindah dari rukun ke rukun lainnya seperti takbir, atau ruku, dan sebagainya, dan ini salah mengurangi nilai shalat.
  3. Mengikuti: yaitu perbuatan makmum terjadi setelah perbuatan imam, dan inilah yang seharusnya dilakukan makmum, dan dengan demikian terlaksana bermakmum yang sesuai dengan syari'at.Ketinggalan: yaitu makmum ketinggalan imam hingga masuk ke rukun lain, dan ini tidak boleh; karena menyalahi berjamaah.
Siapa yang masuk masjid dan ia telah ketinggalan shalat bersama imam tetap, maka ia wajib shalat berjamaah bersama orang yang ketinggalan lainnya, akan tetapi keutamaannya tidak seperti keutamaan jamaah yang pertama.

Barangsiapa yang mendapat satu rakaat bersama imam maka ia telah mendapat shalat berjamaah, dan barangsiapa yang mendapat ruku' bersama imam, maka ia telah mendapat rakaat, maka melakukan takbiratul ihram sambil berdiri, kemudian bertakbir untuk ruku' jika bisa, dan jika tidak bisa, maka berniat untuk keduanya dengan satu kali takbir.

Siapa yang masuk masjid dan ia mendapatkan imam sedang berdiri, atau ruku', atau sujud, atau duduk, maka ikut bersamanya, dan ia mendapat pahala apa yang ia ikuti, akan tetapi tidak dihitung satu rakaat kecuali sempat ruku' bersama imam, dan mendapat takbiratul ihram bersama imam selama belum mulai membaca fatihah.

Disunnahkan imam mempersingkat shalat dengan menyempurnakan shalatnya, karena kemungkinan di antara makmum ada yang lemah, sakit, orang tua, dan orang yang punya keperluan, dan jika shalat sendirian, boleh memanjangkan shalat sekehendaknya.

Mempersingkat shalat yang disunnahkan adalah melakukannya dengan sempurna, dengan menunaikan semua rukun dan wajib-wajibnya, serta sunnah-sunnahnya sebagaimana yang dilaksakan oleh nabi saw, dan diperintahkan, bukan mengikuti kehendak makmum, dan tidak ada shalat bagi yang tidak mengakkan tulang punggungnya di waktu ruku' dan sujud.

Sunnah makmum berdiri di belakang imam, apabila sendirian berdiri de sebelah kanan imam, dan jika imamnya wanita maka berdiri di tengah shaf.

Makmum boleh berdiri di samping kanan imam, atau di kedua sisinya, dan tidak sah berdiri di depannya, begitu pula di sebelah kirinya saja kecuali darurat.
Cara shafnya orang laki-laki dan wanita di belakang imam

Orang-orang laki-laki tua dan muda berdiri dibelakang imam, sedangkan wanita semuanya berdiri di belakang shaf laki-laki, dan disyari'atkan bagi shaf wanita apa yang disyari'atkan bagi shaf laki-laki, dipenuhi dulu shaf pertama, wajib mengisi kekosongan shaf, dan harus diluruskan…

Apabila suatu jamaah wanita semua, maka shaf yang paling baik adalah shaf pertama, dan yang paling buruk adalah shaf terakhir seperti laki-laki, wanita tidak boleh shaf di depan laki-laki, atau laki-laki di belakang wanita kecuali darurat seperti terlalu penuh, jika wanita bershaf di barisan laki-laki karena sangat penuh dan lainnya, maka shalatnya tidak batal, demikian pula shalat orang dibelakangnya.

Dari Abu Hurairah ra berkata: rasulullah saw bersabda: sebaik-baik shaf orang laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling buruk adalah yang paling belakang, dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling buruk adalah yang paling depan. (HR. Muslim)([8]).
Cara meluruskan shaf 
  1. Imam disunnahkan menghadap kepada makmum dengan wajahnya sambil berkata: luruskan shaf kalian, dan rapatkan. (HR. Bukhari)([9]).
  2. Atau mengatakan: luruskan shaf kalian, karena meluruskan shaf merupakan mendirikan shalat. (muttafaq alaih)([10]).
  3. Atau mengatakan: luruskan shaf, sejajarkan antara pundak, isilah shaf yang kosong, jangan memberikan tempat bagi setan, barangsiapa yang menyambung shaf, maka Allah akan menyambungnya, dan siapa yang memutuskan shaf, maka Allah akan memutuskannya. (HR. Abu Daud dan Nasa'i)([11]).
  4. Atau mengatakan: «luruskan, luruskan, luruskan.» (HR. Nasa'i)
Wajib meluruskan shaf dalam shalat dengan pudak, mata kaki, mengisi shaf yang kosong, menyempurnakan yang paling depan lalu yang berikutnya, dan «barangsiapa yang mengisi kekosongan Allah membangunkan baginya rumah di surga, dan Allah mengangkat baginya satu derajat.» (HR. Thabrani)

Anak kecil yang tamyiz sah adzan dan menjadi imam baik shalat fardhu maupun sunnah, dan jika ada yang lebih baik darinya maka wajib didahulukan.

Setiap yang sah shalatnya, sah menjadi imam walaupun tidak mampu berdiri atau ruku' dan sebagainya, kecuali wanita ia tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki, dan boleh menjadi imam bagi sesama wanita.

Orang yang shalat fardhu boleh bermakmum pada orang yang shalat sunnah, orang yang shalat dhuhur boleh bermakmum kepada orang yang shalat asar, orang yang shalat isya' atau maghrib boleh bermakmum kepada orang yang shalat tarawih, kalau imam salam ia menyempurnakan shalatnya.

Boleh berbeda niat dalam shalat antara imam dan makmum, namun tidak boleh berbeda dalam perbuatan, maka boleh shalat isya' bermakmum kepada yang shalat maghrib, apabila imam salam, maka makmum menambah satu rakaat, kemudian membaca tahiyat dan salam, dan apabila orang yang shalat magrib bermakmum kepada orang yang shalat isya', maka apabila imam berdiri untuk rakaat keempat, jika mau ia bertahiyat dan salam, atau duduk dan menunggu salam bersama imam.

Apabila imam menjadi makmum bagi dua anak kecil atau lebih yang sudah berumur tujuh tahun, meletakkan mereka di belakangnya, jika hanya satu orang, diletakkan di samping kanannya.

Apabila makmum tidak mendengar suara imam dalam shalat jahriyah, maka ia membaca fatihah dan lainnya, dan tidak diam.

Apabila imam berhadats ketika sedang shalat, maka ia harus berhenti shalat, dan memilih salah satu makmum untuk menggantikannya, jika salah satu makmum maju, atau mereka menyuruh maju dan menyelesaikan shalat dengan mereka, atau mereka menyelesaikan shalatnya sendiri-sendiri, maka shalatnya sah.

Cara makmum mengqadha rakaat yang ketinggalan 
  1. Barangsiapa yang mendapat satu rakaat dhuhur, asar, atau isya' maka setelah imam salam wajib menambah tiga rakaat, ia menambah satu rakaat dengan membaca fatihan dan surat kemudian duduk untuk tahiyat awal, kemudian menambah dua rakaat dengan hanya membaca fatihah, kecuali dhuhur, maka membaca fatihah dengan surat, terkadang hanya membaca fatihah, kemudian duduk untuk tahiyat akhir, kemudian salam, semua yang ia dapatkan bersama imam, maka itu menjadi awal shalatnya.
  2. Barangsiapa yang mendapatkan shalat satu rakaat bersama imam pada shalat maghrib, setelah imam salam ia berdiri membaca fatihah dan surat, kemudian duduk untuk tahiyat awal, kemudian bangun untuk melakukan satu rakaat lagi dan membaca fatihah, kemudian duduk untuk tahiyat akhir dan salam seperti disebutkan di atas.
  3. Barangsiapa mendapat satu rakaat bersama imam pada shalat subuh atau shalat jum'at, maka setelah imam salam ia berdiri menambah satu rakaat, membaca fatihah dan surat, kemudian duduk untuk tahiyat, lalu salam.
  4. Apabila salah seorang masuk masjid sedangkan imam sedang tahiyat akhir, maka sunnah ikut shalat bersama imam, dan menyempurnakan shalatnya setelah imam salam.
Tidak sah shalat sendirian di belakang shaf kecuali ada udzur seperti tidak mendapat tempat di dalam shaf, maka ia shalat di belakang shaf, dan tidak boleh menarik seseorang dalam shaf, adapun shalatnya wanita sendirian di belakang shaf sah jika shalat bersama jamaah laki-laki, namun bila shalat bersama jemaah wanita, maka hukumnya sama seperti orang laki-laki.
Boleh sekali-sekali shalat sunnah berjamaah di waktu malam atau siang, di rumah atau di tempat lain.
Disunnahkan bagi yang melihat orang shalat sendirian, ikut shalat bersamanya. Dari Abu Said al-Khudri ra bahwasanya rasulullah melihat seseorang yang shalat sendirian, maka beliau berkata: «adakah orang yang mau bersedekah pada orang ini dengan shalat bersamanya.» (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) ([12]).
Disunnahkan bagi makmum tidak bangun dari tempatnya sebelum imamnya menghadap kepada makmum.
Sah mengikuti imam di dalam masjid walaupun makmum tidak melihat imam, atau tidak melihat orang di belakangnya apabila mendengar takbir, demikian pula di luar masjid apabila mendengar takbir dan shafnya bersambung.
Disunnahkan imam mengahadap ke makmum setelah salam, jika ada wanita yang ikut shalat maka diam sebentar agar mereka pergi, dan makruh langsung shalat sunnah di tempat melakukan shalat fardhu
Apabila tempatnya sempit, boleh imam shalat dan di sampingnya, atau di belakangnya, atau di atasnya, atau di bawahnya ada orang shalat.
Berjabat tangan setelah shalat wajib bid'ah, imam dan makmum berdoa bersama-sama dengan keras hukumnya bid'ah, yang disyari'atkan adalah dzikir-dzikir yang diajarkan oleh nabi, baik cara dan jumlahnya, seperti disebutkan di atas.
Apabila imam memanjangkan shalatnya melebihi batas wajar, maka makmum boleh memisahkan diri, atau imam terlalu capat shalatnya, atau makmum berhalangan seperti ingin kencing atau menahan angina, atau lainnya, maka ia boleh memotong shalatnya, dan mengulangi shalat sendirian.
Imam mengeraskan suaranya dalam bertakbir, mengucapkan sami'allahu liman hamidah, salam, mengucapkan amin dalam shalat.
Orang yang berdoa kepada selain Allah, atau minta pertolongan kepada selain Allah, atau menyembelih untuk selain Allah di kuburan atau di tempat lain, atau berdoa kepada orang di dalam kubur, maka tidak boleh menjadi imam, karena ia kafir, dan shalatnya batal.

Alasan-alasan boleh meninggalkan shalat jum'at dan berjamaah

Dibolehkan meninggalkan shalat jum'at dan shalat berjamaah: Orang sakit yang tidak mampu shalat berjamaah, orang yang menahan buang air, orang yang hawatir tertinggal rombongan, orang yang hawatir mendapa bahaya bagi dirinya, atau hartanya, atau temannya, atau terganggu dengan hujan, atau Lumpur, atau angina kencang, atau orang yang mengahadapi hidangan makanan dimana ia sangat perlu dan bisa memakannya, namun tidak boleh dijadikan kebiasaan, demikian pula dokter, penjaga, aparat keamanan, pemadam kebakaran, dan lain sebagainya yang bertugas menjaga kemaslahatan umat islam yang penting, apabila tiba waktu shalat dan mereka sedang menjalankan tugas, maka ia shalat di tempatnya, dan jika perlu boleh shalat dhuhur sebagai ganti shalat jum'at.
Semua yang melalaikan dari shalat, atau membuang-buang waktu, atau berbahaya bagi badan, atau akal, maka haram hukumnya, seperti bermain kartu, merokok, cerutu, minuman keras, narkotika, dan lain sebagainya, atau duduk di depan telivisi atau lainnya yang menayangkan kekafiran, atau adengan porno atau adegan maksiat lainnya.
Apabila imam shalat dan tidak tahu kalau ia menanggung najis, dan shalatnya telah selesai, maka shalat mereka semua sah.

Apabila tahu ada najis sewaktu sedang shalat, jika mungkin disingkirkan maka harus segera membuangnya dan melanjutkan shalatnya, dan jika tidak bisa dibuang, maka berhenti shalat, dan mencari ganti salah satu makmum untuk melanjutkan shalatnya.
Siapa yang berziarah kepada suatu kaum maka ia tidak boleh mengimami mereka, akan tetapi yang jadi imam salah satu dari mereka.
Shaf pertama lebih afdhal dari shaf kedua, shaf sebelah kananan lebih afdhal dari shaf sebelah kiri, karena Allah dan malaikatnya bershalawat kepada shaf pertama, dan shaf sebelah kanan. Nabi saw mendoakan shaf pertama tiga kali, dan untuk shaf kedua satu kali.
Yang ada di shaf pertama: Yang paling berhak berada di shaf pertama dan dekat dengan imam adalah orang-orang pandai dan punya ilmu serta takwa, mereka sebagai teladan, maka hendaklah segera ke shaf pertama.

Dari Abu Mas'ud ra berkata: rasulullah mengusap pundak kami dalam shalat, dan berkata: luruskan, dan janganlah berselisih, sehingga hatik kalian berselisih, hendaklah yang ada di belakangku orang-orang pandai, kemudian berikutnya, kemudian berikutnya. (HR. Muslim) ([13]).

Cara memanjangkan shalat dan memendekkan: Sunnah bagi imam apabila memanjangkan shalat, memanjangkan rukun-rukun yang lain, dan jika memendekkan, memendekkan rukun-rukun yang lain.
Dari al-Bara' bin Azib ra berkata: aku memperhatikan shalat rasulullah saw, maka aku dapatkan berdirinya, ruku'nya, I'tidalnya setelah bangun dari ruku', sujudnya, duduknya antara dua sujud, sujudnya yang kedua, dan duduknya antara salam dan bangkit hampir sama. (Muttafaq alaih) ([14]).
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
([1]) HR. Bukhari no (645) (646), Muslim no (650) (649).
([2]) HR. Muslim no (666)
([3]) Shahih Bukhari no (662), Muslim no (669).
([4]) Shahih Bukhari no (662), Muslim no (669)
([5]) Sunan Tirmidzi no (241).
([6]) Shahih Bukhari no (722), Muslim no (417).
([7]) Shahih Muslim no (673)
([8]) Shahih Muslim no (440).
([9]) Shahih Bukhari no (719).
([10]) Shahih Bukhari no (723), Muslim no (433).
([11]) Sunan Abu Daud no (666), Nasa'I no (819).
([12]) Sunan Abu Daud no (574), Tirmidzi no (182)
([13]) Shahih Muslim no (432).
([14]) Shahih Bukhari no (801), Muslim no (471).