Minggu, 11 November 2012

Jalan Golongan Yang selamat

Jalan Golongan Yang Selamat

Istilah golongan yang selamat yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-firqatu an-najiyah ( الفرقة الناجية ) muncul berdasarkan hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yakni:
افترقت اليهود على إحدى و سبعين فرقة ، فواحدة في الجنة و سبعين في النار ، و افترقت النصارى على اثنين و سبعين فرقة فواحدة في الجنة و إحدى و سبعين في النار ، و الذي نفسي بيده لتفترقن أمتي على ثلاث و سبعين فرقة ، فواحدة في الجنة و ثنتين و سبعين في النار ، قيل يا رسول الله من هم ؟ قال : هم الجماعة
yang bermakna:
“Yahudi telah berpecah-belah menjadi 71 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh di Neraka, dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh satu di Neraka, dan demi yang jiwaku di tangan-Nya sungguh ummatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh dua di Neraka, dikatakan “Wahai Rasul ALLAH siapa mereka itu?”, beliau berkata: “Mereka adalah al-Jama'ah.”.” (HR Ahmad, shahih)

Kata “ فرقة ” bermakna golongan, kelompok dari hasil berpecah, sedangkan “ ناجية ” bermakna selamat. Dalam konteks hadis di atas adalah selamat dari Neraka dan dimasukkan Surga.

Dari hadis tersebut muncul pertanyaan siapa mereka itu? Lafadz hadis tersebut menunjukkan yang selamat disebut “ الجماعة ” yang juga secara bahasa bermakna golongan dari hasil berkumpul. Dalam hadis ini tentu saja tidak bermaksud makna bahasa tapi makna syar'i, sebab jika itu bermakna bahasa maka hadis itu tidak berarti apa-apa. Pertanyaan berikutnya adalah siapa al-Jama'ah yang dimaksud?

Untuk menjawab ini harus diteliti makna dan maksud al-Jama'ah dan al-Firqah dan perintah untuk berjama'ah atau berkumpul disertai larang berfirqah atau berpecah belah di dalam al-Quran dan as-Sunnah:

{ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا} (آل عمران: من الآية: 103) وقال سبحانه: { وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ} (آل عمران: من الآية: 105).
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, ...” (QS Ali Imran: 103), “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. ...” (QS Ali Imran:105).

Dua ayat tersebut jelas-jelas memerintahkan bersatu (jama'ah) dan melarang perpecahan (firqah).
Sedangkan dalam as-Sunnah:

((من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات مات ميتة جاهلية))
“Barangsiapa keluar dari ketaatan (pada amir) dan memisahkan diri (berpecah) dari al-jama'ah kemudian mati maka mati dalam keadaan mati jahiliyah” (HR Muslim dari Abu Hurarirah).

((من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد))
“Barangsiapa menghendaki surga yang terbaik dan ternyaman hendaknya melazimi al-jama'ah karena syaitan bersama satu orang dan dia lebih jauh dari dua orang.” (HR at-Tirmidzi dari 'Umar bin al-Khattab, hasan shahih gharib dan disebutkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi).

((الجماعة رحمة والفرقة عذاب))
“Jama'ah itu rahmat sedangkan furqah (perpecahan) itu 'adzab” (HR Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah dan dihasankan oleh al-Albani dalam takhrijnya, Shahih al-Jami' dan yang lain)

Hadis-hadis ini senada dengan ayat-ayat al-Quran yang telah disebutkan tentang kewajiban melazimi al-Jama'ah dan menjauhi furqah (perpecahan). Kemudian apa makna al-Jama'ah?



Apabila dibawa pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat maka makna al-Jama'ah tentu saja berpegang kepada Islam yang murni yakni al-Quran dan as-Sunnah, karena jelas Nabi dan para shahabat termasuk dari al-Jama'ah yang dimaksud dalam ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat dalam as-Sunnah tersebut, sehingga orang-orang yang menyelesihi mereka adalah firqah sebagai konsekuensi logis meninggalkan al-Jama'ah yakni Nabi dan para shahabat.


Para 'ulama mempunyai pendapat yang bervariasi tapi tidak saling bertentangan, di mana menurut asy-Syathibi bisa dirangkum dalam lima pendapat, yaitu:


1. as-Sawadu al-A'dzam ( السواد الأعظم ) yakni maksudnya adalah kelompok terbesar dari orang-orang muslim. Mereka itulah yang dimaskud al-Jama'ah yakni al-Firqatu an-Najiyah (golongan yang selamat). Maka pemahaman Islam yang mereka pegang adalah benar yang menyelisihi mereka mati dalam keadaan mati jahiliyah baik menyelesihi pemahaman agama mereka ataupun menyelisihi imam mereka. Sehingga yang dimaksud as-Sawadu al-A'dzam adalah orang-rang yang berpegang teguh dengan syari'ah yang benar. Pendapat ini adalah pendapat Abu Mas'ud al-Anshari dan Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhuma. Ketika terbunuhnya khalifah 'Utsman radhiallahu 'anhu maka Abu Mas'ud ditanya tentang fitnah maka beliau menjawab: “Tetaplah engkau dengan al-Jama'ah, sesungguhnya ALLAH tidaklah mengumpulkan ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di atas kesesatan ...”. Ibnu Mas'ud berkata: “ Tetaplah kalian mendengar dan ta'at, karena itu adalah tali ALLAH yang Dia perintahkan (untuk memegang teguh) …” beliau juga berkata: “ Sesungguhnya yang kalian benci di dalam jama'ah lebih baik dari pada yang kalian sukai di dalam perpecahan ...”.
 

2. Jama'ah imam-imam 'ulama mujtahidin, maka barang siapa keluar dari apa yang telah disepakati 'ulama ummat ini mati dalam keadaan mati jahiliyah. Karena 'ulama ummat ini lah yang dimaksud dalam hadis shahih : ((إن الله لن يجمع أمتي على ضلالة)) yakni “Sesungguhnya ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku di atas kesesatan.” hadis ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami'. Pendapat ini mengkhususkan 'ulama mujtahidin dari as-Sawadu al-A'dzam ummat ini. Pendapat ini dikatakan oleh: 'Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaihi dan sekelompok ulama salaf. Ibnu al-Mubarak pernah ditanya: “Siapakah al-Jama'ah yang sepatunya diikuti?” Beliau berkata:” Abu Bakar dan 'Umar.” beliau terus menyebutkan sampai ke Muhammad bin Tsabit dan al-Husain bin Waqid. Maka dikatakan pada beliau: “ Mereka sudah mati, siapakah yang masih hidup dari Jama'atu al-Muslimin hari ini?” maka dijawab: “ Abu Hamzah as-Sukari adalah jama'ah.” Abu Hamzah ini adalah Muhammad bin Maimun al-Marwazi, mendengar dari Abu Hanifah. Oleh karena itu barang siapa beramal menyelesihi para ulama mujtahid ini akan mati dalam keadaan jahiliyah.
 

3. Para Sahabat secara khusus, karena mereka yang telah berhasil menegakkan agama ini secara keseluruhan dan meraka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat di atas kesesatan. 'Umar bin 'Abdil Aziz berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Wulatu al-amri (Khalifah-khalifah) sesudahnya telah memberikan tuntunan (sunnah). Mengambil tuntunan itu adalah pembenaran terhadap Kitab ALLAH (al-Quran), penyempurnaan ketaatan kepada ALLAH, kekuatan di atas agama ALLAH. Tidak seorangpun boleh mengganti dan mengubahnya dan tidak pula melihat apapun yang menyelesihinya. Barang siapa mengambil petunjuk dengan tuntunan itu akan mendapat petunjuk barang mengambil pertolongan berdasar tuntunan itu maka akan ditolong (oleh ALLAH), barang siapa menyelisihnya berarti mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman dan ALLAH akan membiarkan dia dalam kesesatannya dan memasukkan dia ke neraka Jahannam dan itulah sejelek-jelak tempat kembali.” Riwayat ini disampaikan oleh al-Imam Malik dan beliau takjub dan menyetujuinya. Pendapat ini sesuai dengan riwayat lain dari hadis perpecahan ummat tersebut yakni lafadz pengganti al-Jama'ah yaitu: ((ما أنا عليه وأصحابي)) yang bermakna “Apa yang aku dan shahabatku di atasnya ...” hadis dengan lafadz ini diriwayatkan at-Tirmidzi dalam sunannya dan dihasankan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Lafadz ini menerangkan makna al-Jama'ah yang tidak lain dasarnya adalah tuntunan yang dipegang dan difahami para shahabat radhiallahu 'anhum.
4. Jama'atu ahli al-Islam jika mereka berkumpul di atas suatu perkara maka wajib atas yang lain untuk mengikuti mereka. Berkaitan dengan in al-Imam asy-Syafi'i berkata:
الجماعة لا تكون فيها غفلة عن معنى كتاب ولا سنة ولا قياس، وإنما تكون الغفلة في الفرقة yang bermakna “al-Jama'ah tidak mungkin di dalamnya lalai dari makna Kitab (al-Quran) dan Sunnah tidak pula qiyas, kelalaian hanya terjadi pada firqah (sempalan).” Beliau bermaksud bahwa jama'ah kaum muslimin adalah orang-orang yang berkumpul dalam satu perkara, karena berkumpulnya mereka terhadap satu perkara menunjukkan kalau perkara itu shahih karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwa ummat ini tidak akan bersepakat dalan kesesatan, sedangkan perpecahan dan perselisihan adalah hasil dari kelalalaian (terhadap al-Quran dan as-Sunnah) dan tidak masuk ke makna al-Jama'ah.
5. Jama'ah kaum muslimin jika bersepakat pada satu amir (pemimpin), maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk melazimi dan menetapi jama'ah tersebut dan melarang berpecah serta meninggalkan jama'ah ini. Ini adalah pendapat al-Imam ath-Thabari. Sesuai hadis : ((من جاء إلى أمتي ليفرق جماعتهم فاضربوا عنقه كائنًا من كان)) yang bermakna: “Barangsiapa datang ke ummatku untuk memecah-belah jama'ah mereka maka penggallah lehernya apapun yang terjadi.”

Kelima makna al-Jama'ah bisa dirangkum bahwa al-Jama'ah kembali kepada berkumpul dan bersatunya kaum muslimin atas seorang imam yang sesuai al-Quran dan as-Sunnah, sehingga bersatunya manusia di atas selain as-Sunnah di luar makna al-Jama'ah dalam hadis tersebut, sebagaimana orang-orang Khawarij yang keluar dari ketaatan al-Imam 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu dan juga pemahaman para shahabat terhadap al-Quran dan as-Sunnah.

Golongan yang selamat yang dimaksud adalah al-Jama'ah disertai dengan ittiba' sunnah sehingga dinamai Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah. Mereka adalah golongan yang dijanjikan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa salla dengan keselamatan di antara golongan-golongan yang ada. Prinsip mereka adalah ittiba' (mengikuti) sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah, ibadah, akhlak dan selalu melazimi jama'ah kaum muslimin jika ada, jika tidak ada mereka tetap berpegang pada sunnah dan meninggalkan seluruh golongan yang ada.

Ibnu Abi Syamah berkata: “Ketika datang perintah melazimi jama'ah maka yang dimaksud adalah melazimi kebenaran dan megikutinya walaupun orang yang berpegang pada kebenaran jumlahnya sedikit sedangkan yang menyelesihinya berjumlah banyak, karena kebenaran itulah yang dipegang oleh jama'ah pertama pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan begitu juga pada zaman para shahabat radhiallahu 'anhum, tidak dipedulikan banyaknya orang-orang yang berpegang pada kebathilan setelah mereka.

'Amru bin Maimun yang pernah melazimi Mu'adz bin Jabal dan kemudian 'Abdullah bin Mas'ud pernah mendengar Ibnu Mas'ud berkata: “Tetaplah kalian bersama al-Jama'ah ...”, sehingga datang suatu zaman diakhirnya shalat dari waktunya maka Ibnu Mas'ud memerintahkan shalat tepat pada waktunya di rumah dan berjama'ah bersama “al-jama'ah” sebagai tambahan (nafilah/sunnah). Maka 'Amru mempertanyakan saran Ibnu Mas'ud ini. Maka Ibnu Mas'ud bertanya:”Apakah engkau mengetahui makna al-Jama'ah?”. 'Amru menjawab: “Tidak.”
Ibnu Mas'ud berkata:” Sesungguhnya mayoritas al-Jama'ah itulah yang telah meninggalkan al-Jama'ah yang sesungguhnya, sesungguhnya al-Jama'ah itu adalah apa yang sesuai kebenaran walaupun Engkau sendirian!”

Nu'aim bin Hammad berkata:” Yaitu jika al-Jama'ah sudah rusak maka tetaplah Engkau dengan apa yang di atasnya al-Jama'ah sebelum rusak, walaupun dirimu sendirian maka Engkau adalah al-Jama'ah pada saat itu.” Ini adalah ucapan yang luar biasa jelas, sebab kebenaran tidak dilihat dari banyaknya pengikut akan tetapi dilihat dari sejauh mana iltizam dan melazimi agama ALLAH Ta'ala, tidak dilihat dari banyak atau sedikitnya.

Kemudian kadang-kadang mereka yakni para Shahabat dan juga orang-orang generasi awal yang mengikuti mereka berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah yakni Islam yang murni sering disebut dengan istilah salaf. Apa makna dan maksud salaf di sini?

Istilah “سلف " secara bahasa adalah bentuk plural atau jamak dari “ سالف " yang bermakna orang yang mendahului, sehingga salaf bermakna kumpulan orang-orang yang telah mendahului, sebagaimana kata salaf dalam al-Quran:

{فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلآخِرِينَ} (الزخرف: 56).
“dan Kami jadikan mereka sebagai 'salaf' dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian.” Kata 'salaf' di ayat tersebut adalah para pendahulu sebagai pelajaran untuk diambil 'ibrahnya.

Makna salaf secara istilah terdapat beberapa pendapat:

Pertama, salaf adalah para shahabat saja, ini pendapat para pensyarah kita ar-Risalah oleh Ibnu Abi Zaid al-Qairawani.
Kedua, salaf adalah para shahabat dan tabi'in, ini pendapat Abu Hamid al-Ghazzali.
Ketiga, salaf adalah para shahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in, yakni tiga generasi yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kebaikan dalam hadis 'Imran bin Hushain yakni:
"خير أمتي قرني، ثم الذي يلونهم، ثم الذين يلونهم" .
“ Sebaik-baik ummatku adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR al-Bukhari)

Pendapat ini dipegang banyak 'ulama seperti asy-Syaukani, as-Safarini, Ibnu Taimiyah, dan yang lain. Sebagian 'ulama seperti al-Imam al-Ajuri memasukkan generasi sesudahnya seperti al-Imam Ahmad, al-Imam asy-Syafi'i, Ishaq, Abu 'Ubaid dan lainnya yakni aqran mereka ('ulama sezaman dan seumuran mereka) ke dalam istilah salaf.

Tentu saja salaf yang dimaksud bukan hanya pembatasan masa atau generasi akan tetapi kembali ke makna al-Jama'ah yakni ahlu as-sunnah wa al-jama'ah di mana salaf yang dimaksud adalah generasi shahabat, tab'in, tabi'ut tabi'in yang berpegang dengan al-Quran dan as-Sunnah, sebab munculnya bid'ah Khawarij dan Rafidhah masih di masa tiga generasi tersebut. Kenapa dibatasi hanya tiga generasi awal, sebab setelah itu jumlah firqah dan kelompok-kelompok menyimpang mulai banyak dan leluasa di antaranya pada zaman al-Imam Ahmad di mana mu'tazilah berhasil mempengaruhi kekuasaan yaknik khalifah untuk menyebarkan faham al-Quran makhluk kepada ummat Islam dengan paksa. Sehingga madzhab atau pemahaman salaf itu tidak lain pemahaman al-Jama'ah yakni pemahaman golongan yang selamat.

Al-Imam as-Safarini berkata:” Maksud dari madzhab as-salaf yaitu apa yang para shahabat yang mulia di atasnya dan juga para tabi'in (pengikut shahabat dengan cara yang baik), pengikut tabi'in, para imam agama ini yang diakui ke-imamannya dan perhatiannya kepada agama ini, dan manusia menerima ucapan-ucapan mereka sebagai pengganti para salaf, bukan orang yang dicap dengan bid'ah atau terkenal dengan gelar yang tidak diridhai seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murjiah, Jabriyah, Jahmiyah, Mu'tazilah, Karramiyah dan semacamnya.” Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan para 'ulama yang senada dengan beliau yang tidak cukup disebutkan dalam tulisan yang singkat ini.

Ada beberapa sebutan lain dari al-Jama'ah sebagai golongan yang selamat selain nama ahlu as-sunnah wa al-jama'ah dan salaf, yakni ahlu al-hadis dan ath-tha'ifah al-manshurah.

Makna yang dimaksud “ أهل الحديث " bukanlah para pakar hadis baik sisi riwayat atau dirayah saja tapi yang dimaksud adalah orang-orang yang menempuh jalan orang-orang shalih dan mengikuti jejak para salaf di mana mereka mempunyai perhatian khusus dengan hadis-hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam mengumpulkan, menjaga, meriwayatkan, memahami dan mengamalkan dzahir dan bathin, maka dengan itu mereka menjadi orang-orang yang paling melazimi sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak mendahului sunnah-sunnah dengan akal, hawa nafsu atau membuat bid'ah apapun keadaannya.

Makna istilah ahli hadis telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman, akan tetapi makna ahli hadis yang dimaksud bukanlah makna ahli hadis zaman sekarang yang berarti sekelompuk ilmuwan atau ulama yang bergelut di bidang hadis riwayat dan dirayat akan tetapi makna ahli hadis harus dikembalikan ke makna munculnya istilah ini sebagai nama lain dari al-Jama'ah atau dengan kata lain istilah ahli hadis harus dikembalikan dalam pembahasan 'aqidah dengan merujuk kepada kitab-kitab 'aqidah salaf seperti “Aqidatu as-Salaf Ashabi al-Hadits” oleh Abu 'Utsman ash-Shabuni, juga “I'tiqad Aimmati al-Hadits” oleh Abu Bakar al-Isma'ili dan semacamnya bukan merujuk kepada kitab-kitab musthalah al-hadits. Sebab tidak mungkin hanya sekedar pakar dalam ilmu hadis menyebabkan seseorang menjadi golongan yang selamat.

Apabila dikembalikan dalam pembahasan 'aqidah maka istilah ahlu as-sunnah akan sama dengan ahlu al-hadits. Akan tetapi jika dikembalikan pembahasan ilmu musthalah hadis maka ahlu as-sunnah berbeda dengan ahlu al-hadits.

Ibnu ash-Shalah ditanya tentang perbedaan antara as-sunnah dengan al-hadits tentang perkataan sebagian 'ulama tentang al-Imam Malik bahwa beliau mengumpulkan antara as-sunnah dengan al-hadits (yakni ahlu as-sunnah sekaligus ahlu al-hadits), maka beliau menjawab: “ As-sunnah adalah lawan dari al-bid'ah, kadang-kadang seseorang termasuk ahlu al-hadits tapi dia ahlu al-bid'ah sedangkan Malik mengumpulkan dua sunnah, yakni beliau sangat mengetahui sunnah (yakni hadits) dan ber'aqidah sunnah (yakni madzhab (aqidah) nya adalah madzhab yagn ahlu al-haq bukan bid'ah ).”

Mereka disebut ahlu al-hadits karena mereka pembawa sunnah dan orang yang paling dekat kepada sunnah, dan mereka adalah pewaris Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan penukil sunnah-nya, ahlu al-bid'ah di antara mereka sangat sedikit, sebagian besar dari mereka adalah mengikuti atau ittiba' bukan ibtida' yakni berbuat bid'ah.

Sehingga jika disebut ahlu al-hadits dalam kitab-kitab 'aqidah maka yang dimaksud adalah ahlu al-hadits dalam riwayat dan dirayah dan ittiba', tidak hanya sekedar mendengar, menulis dan meriwayatkan hadits tanpa ittiba'. Sehingga maksud ahlu al-hadits adalah ahlu as-sunnah secara muthlaq khususnya dalam kitab-kitab 'aqidah dari para salaf.

Sedangkan penamaan yang lain yakni “ الطائفة المنصورة " yang bermakna “Golongan yang ditolong”. Penamaan ini berasal dari hadits:

(( لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حتى يأتيهم أمر الله وهم ظاهرون))
“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang selalu tegak (di atas kebenaran) sehingga datang kepada mereka perintah ALLAH dan mereka tetap tegak (di atas kebenaran). (HR al-Bukhari)

(( لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي منصورين، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حتى تقوم الساعة))
“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang ditolong, tidak memudharatkan mereka orang-orang yang menjatuhkan mereka sehingga tegaklah hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi, beliau berkata hasan shahih, dan dishahihkan al-Albani)

Para salaf telah menjelaskan maksud gelar ini (thaifah manshurah), 'Abdullah bin al-Mubarak berkata: ”Mereka menurutku adalah ashabu al-hadits.” Maksud ashabu al-hadits adalah ahlu al-hadits yakni ahlu as-sunnah.

Yazid bin Harun berkata: “Jika mereka bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu siapa lagi mereka itu.”
'Ali bin al-Madini berkata: “Mereka adalah ashabu al-hadits.”
al-Imam Ahmad berkata: “Jika golongan yang ditolong ini bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu lagi siapa mereka itu.”
al-Bukhari berkata: “Mereka adalah ahlu al-'ilmi ('ulama).”
dalam riwayat lain dari al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari berkata: “Mereka ashabu al-hadits”, tentu saja ini tidak bertentangan sebab ahlu al-hadits termasuk ahlu al-'ilmi ('ulama).
Ahmad bin Sinan berkata: “Mereka ahlu al-'ilmi dan ashabu al-atsar.” Ahlu al-atsar yang dimaksud sama dengan ahlu al-hadits.

Kenapa ahlu al-hadits adalah golongan yang paling berhak mendapat pertolongan dan kemenangan dari ALLAH? Sebab mereka menolong sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkannya, dan membelanya sehingga mereka orang yang paling layak mendapat gelar “thaifah manshurah” sebagaimana kata Abu 'Abdillah al-Hakim: “ Sungguh Ahmad bin Hambal sangat tepat dalam tafsir khabar ini bahwa ath-Thaifah al-Manshurah yang diangkat dari mereka pengkhianatan sampai hari kiamat adalah ashabu al-hadits …”
Maksud ahlu al-hadits di sini adalah ahlu as-sunnah sebagaimana telah dijelaskan.
al-Qadhi 'Iyadh berkata: “Sesungguhnya Ahmad bermaksud (dari ashabu al-hadits) adalah ahlu as-sunnah wa al-jama'ah dan siapapyn yang beraqidah dengan madzhab ahlu al-hadits.”

Sehingga jelas sekali bahwa ahlu al-hadits menurut tafsir para salaf terhadap ath-Thaifah al-Manshurah adalah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah, merekalah golongan yang ditolong, oleh karena itu banyak didapatkan dalam kitab-kitab 'aqidah pemutlakan nama ath-Thaifah al-Manshurah atas nama Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah.

Meskipun dalam beberapa riwayat disebut letak golongan yang ditolong ini di daerah Syam, tidak berarti membatasi hanya di Syam saja akan tetapi dalam suatu masa mereka ini yakni golongan yang ditolong ini ada di Syam di mana pada masa yang lain bisa di Hijaz maupu di Mesir atau tempat-tempat lain, ALLAH a'lam.

Metode penerimaan ilmu agama.

Sumber ilmu mereka baik dalam 'aqidah, 'ibadah, mu'amalah, akhlak dan seluruh cabang-cabang syari'ah adalah hanya dari al-Quran dan as-Sunnah.

Menurut ahlu as-sunnah tidak ada yang maksum kecuali Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, semua perkataan siapapun boleh diambil atau ditinggalkan kecuali perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Perkataan imam-imam mereka mengikuti perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bukan sebaliknya.

Oleh karena itu tampak pada diri mereka iltizam dan selalu mengikuti sunnah sebagaimana jama'ah pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yakni para shahabat radhiallahu 'anhum dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka. Mereka tidak menerima ijtihad atau pendapat apapun kecuali setelah ditimbang dengan al-Quran dan as-Sunnah serta ijma' salaf.

Ahlu as-sunnah wa al-jama'ah tidaklah bersikap kecuali dengan ilmu dan akhlak para as-salafu ash-shalih dan orang-orang yang mengambi dari mereka dan melazimi jama'ah mereka. Hal itu disebabkan karena para shahabat radhiallahu 'anhum belajar tafsir al-Quran dan al-Hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka mengajarkan kepada para tabi'in dan mereka tidak pernah sama sekali mendahului ALLAH dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak dengan pendapat, tidak pula perasaan, tidak pula akal, tidak pula yang lainnya.

ALLAH telah memuji mereka dalam al-Quran:

{ وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} (التوبة: 100)
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”

Maka ALLAH menjadikan pengikut mereka dengan baik mendapat ridha dan surga-Nya. Maka barang siapa mengikuti as-sabiqun al-awwalun maka termasuk golongan mereka dan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi karena ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia dan para shahabat pada hakikatnya adalah sebaik-baik ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ahlu as-Sunnah adalah ahlu at-tawassuth wa al-i'tidal (ummat pertengahan dan moderat)

Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat sebagaimana firman ALLAH ta’ala:
}كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ) {آل عمران: من الآية: 110)
“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia” (QS: Ali Imran:110)
mereka juga ummat pertengahan sebagaimana firman-Nya:
}وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا) {البقرة: من الآية: 142.(
Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat dari seluruh ummat agama lain sehingga Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sebaik-baik ummat dari ummat Islam karena kebaikan ummat Islam adalah karena mereke berpegang dan mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah sedangkan Ahlus as-Sunnah adalah golongan yang paling berpegang kepada al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana para shahabat radhiallahu ‘anhum sehingga merekalah sebaik-baik golongan dari ummat Islam.
Sifat pertengahan Ahlu as-Sunnah tampak pada ciri-ciri dan sifat mereka yakni:
Pertengahan dalam bab sifat-sifat ALLAH Ta’ala di antara orang-orang yang menta’thilnya (menolak) seperti Jahmiyah dan orang-orang yang menyerupakannya dengan sifat makhluk (tamtsil).
Pertengahan dalam bab perbuatan hamba-hamba-Nya di antara Jabriyah (menganggap hamba-hamba-Nya dipaksa tanpa kehendak sama sekali) dan Qadariyah (menolak adanya takdir).
Pertengahan dalam bab janji dan ancaman ALLAH Ta’ala di antara Murji’ah dengan Khawarij serta Mu’tazilah.
 

Pertengahan dalam bab sikap terhadap para shahabat di antara orang-orang yang berlebihan dengan beberapa shahabat dengan orang-orang mengkafirkan mereka.
Pertengahan dalam bab ‘aql da naql.
Selain sifat-sifat tersebut, maka Ahlu-as-Sunnah mempunyai ciri-ciri berupak akhlak mulia seperti bersabar terhadap musibah, bersyukur ketika diberi kelapangan, ridha ketika dengan takdir yang buruk. Mengajak menyempurnakan ibadah dan akhlak yang mulia. Amar ma’ruf dan nahi munkar juga merupakan ciri-ciri khas Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Pembahasan rinci sifat-sifat tersebut ada dalam kitab-kitab ‘aqidah, ‘ibadah dan akhlak yang ditulis oleh para ulama Ahlu as-Sunnah dari zaman ke zaman.



jihad VS Terorisme


Di masa kita sekarang ini istilah jihad telah diselewengkan maknanya oleh sebagian kelompok. Menurut mereka aksi-aksi terorisme berupa bom bunuh diri, pembunuhan orang-orang kafir tanpa alasan yang benar, dan menimbulkan kekacauan merupakan bagian dari jihad. Sesungguhnya ini adalah kenyataan yang sangat menyedihkan.


Islam rahmatan lil ‘alamin

Ajaran Islam adalah ajaran yang mendatangkan rahmat bagi umat manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.” (QS. al-Anbiya’: 107). Ibnu Abbas menerangkan bahwa rahmat tersebut bersifat umum mencakup orang yang baik-baik maupun orang yang jahat. Barang siapa yang beriman kepada beliau -Nabi Muhammad- maka akan sempurnalah rahmatnya di dunia sekaligus di akhirat. Adapun orang yang kufur kepadanya maka hukuman -yang sesungguhnya- akan disisihkan darinya sampai datangnya kematian dan hari kiamat (lihat Zaad al-Masir [4/365] as-Syamilah)

Di antara bukti kasih sayang Islam kepada umat manusia adalah Islam tidak membenarkan penumpahan darah manusia tanpa alasan yang benar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu membunuh nyawa yang diharamkan Allah -untuk dibunuh- kecuali dengan sebab yang benar.” (QS. al-An’am: 151). al-Baghawi menjelaskan bahwa di dalam ayat ini Allah mengharamkan membunuh seorang mukmin dan mu’ahad -orang kafir yang terikat perjanjian keamanan dengan umat Islam- kecuali dengan sebab yang benar yaitu sebab-sebab yang membuat orang itu boleh dibunuh seperti karena murtad, dalam rangka qishash -bunuh balas bunuh-, atau perzinaan yang mengharuskan hukuman rajam bagi pelakunya (lihat Ma’alim at-Tanzil [3/203] as-Syamilah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian -dengan kaum muslimin atau pemerintahnya- maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari). al-Munawi menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh orang kafir mu’ahad- termasuk perbuatan dosa besar (Faidh al-Qadir [6/251] as-Syamilah).
Demikian juga Islam tidak memperkenankan perilaku bunuh diri -meskipun dengan niat yang baik, yaitu untuk memerangi musuh- sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), “Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi dirimu.” (QS. an-Nisa’: 29). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu alat maka dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat.” (HR. Muslim). Yaitu dia bunuh diri dengan alat untuk membunuh, meminum racun dan lain sebagainya (lihat Tuhfat al-Ahwadzi [6/435] as-Syamilah)

Berbuat dosa tapi mengharap pahala

Namun anehnya, orang-orang yang melakukan pengeboman dan aksi bunuh diri itu merasa bangga dan menganggap dirinya sebagai mujahid. Sesungguhnya ini merupakan hasil tipu daya syaitan kepada mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia sementara mereka mengira telah melakukan sesuatu kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 103-104). Ibnu Katsir mengatakan, “Sesungguhnya ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang beribadah kepada Allah namun tidak di atas jalan yang diridhai Allah. Dia menyangka bahwa dia berada di pihak yang benar dan amalnya akan diterima. Padahal, sebenarnya dia adalah orang yang bersalah dan amalnya tertolak.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/151-152])

Mereka mencomot sebagian ayat dan memahaminya tidak sebagaimana mestinya. Mereka mengambil dalil yang samar (mutasyabih) dan meninggalkan dalil-dalil lain yang jelas dan tegas (muhkam). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dialah -Allah- yang telah menurunkan kepadamu Kitab suci itu, di antaranya ada ayat-ayat yang muhkam yaitu Ummul Kitab sedangkan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya menyimpan penyimpangan/zaigh maka mereka akan mengikuti ayat yang mutasyabih itu demi menimbulkan fitnah dan ingin menyimpangkan maknanya…” (QS. Ali Imran: 7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kamu melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mustasyabihat maka mereka itulah orang-orang yang disebut oleh Allah -di dalam ayat tadi- maka waspadalah kamu dari bahaya mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dll). Penulis syarah Sunan Abu Dawud berkata, “Ayat ini -Ali Imran ayat 7- berlaku umum bagi semua kelompok yang melenceng dari kebenaran yaitu dari kalangan kelompok-kelompok bid’ah….” (Aun al-Ma’bud [10/117] as-Syamilah)

Jihad yang sebenarnya

Allah ta’ala berfirman, “Orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang/berjihad di jalan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik/ihsan.” (QS. al-’Ankabut: 69). al-Baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata tentang tafsiran ayat ini, “Yaitu orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Kami niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan untuk meraih pahala dari Kami.” (Ma’alim at-Tanzil [6/256] as-Syamilah)

Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya seorang mujahid sejati adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah -termasuk di dalamnya adalah dengan memerangi orang kafir dengan cara yang benar-, bukan dengan melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berjihad adalah orang yang berjuang menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad, as-Shahihah [549] as-Syamilah). Maka jelaslah bahwa terorisme bukan jihad. Terorisme sama artinya dengan menimbulkan kekacauan dan kerusakan di muka bumi. Sementara Allah tidak menyukainya. Allah berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang menebarkan kerusakan.” (QS. al-Qashash: 77)

Reaksi yang keliru

Sebagian orang yang telah termakan oleh pemberitaan media massa yang tidak tepat menganggap bahwa lelaki yang berjenggot dan bercelana di atas mata kaki atau perempuan yang mengenakan cadar adalah bagian dari jaringan teroris. Padahal, anggapan semacam itu adalah anggapan yang kekanak-kanakan.
Semata-mata memiliki jenggot atau mengenakan cadar jelas tidak ada hubungannya dengan terorisme.

Tidakkah kita ingat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum lelaki untuk memelihara jenggot? Nabi pun menegaskan bahwa mengenakan pakaian yang melebihi mata kaki adalah terlarang, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari. Tidakkah kita juga ingat bahwa para isteri Nabi pun mengenakan cadar? Apakah dengan penampilan seperti itu kemudian kita mengatakan bahwa Nabi dan isteri-isterinya terlibat dalam jaringan teroris?! Tentu saja anggapan yang demikian itu tadi adalah sesuatu yang terlalu berlebihan, bahkan mengada-ada.

Saudaraku sekalian, sesungguhnya kemuliaan Islam ini akan ternoda tatkala orang yang bukan ahlinya berbicara tentang ajaran agama. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Isra’: 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, Shahihah [1887] as-Syamilah).

Tetaplah menimba ilmu dan mencari kebenaran

Dengan menyaksikan realita yang memilukan ini maka sudah semestinya kaum muslimin semakin meningkatkan semangat mereka untuk mengkaji ilmu agama dan berupaya untuk mengamalkannya. Sebab dengan cara itulah jalan ke surga akan menjadi mudah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki menjadi baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau juga mengatakan, “Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu -agama- maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim). Untuk bisa membedakan apakah suatu bentuk pemahaman benar atau tidak maka ilmu agama sangat diperlukan. Siapa saja membutuhkannya, entah itu polisi, pejabat Negara, pedagang, guru, karyawan, maupun mahasiswa, tidak terkecuali para ustadz, da’i dan kyai.

engan mengkaji al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar itulah kita akan mendapatkan jawaban atas permasalahan yang kita hadapi dan terbebas dari kesesatan berpikir. Sebaliknya, orang yang meninggalkannya akan binasa. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang terus mengikuti petunjuk-Ku maka tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Tapi barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit dan kelak Kami akan menghimpunnya dalam keadaan buta. Orang itu berkata, ‘Wahai Rabbku mengapa Engkau himpunkan aku dalam keadaan buta, padahal dulu aku melihat?’. Maka Allah jawab, ‘Demikian itulah balasan yang layak kamu terima. Telah datang kepadamu ayat-ayat Kami namun kamu sengaja melupakannya, maka demikian pula pada hari ini kamu dilupakan.’.” (QS. Thaha: 123-126)

Allah akan memuliakan orang yang mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari). Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat sebagian orang dengan sebab Kitab suci ini dan akan menghinakan sebagian yang lain karenanya pula.” (HR. Muslim). Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat bagi penulis maupun pembacanya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin [Ari Wahyudi].

Minggu, 21 Oktober 2012

Pengertian Dzikir dan Keutamaannya


Pengertian Dzikir:

Pengertian dzikir menurut bahasa berasal dari kata dzakaro yang artinya ingat.Dzikir juga bermakna mengingat sesuatu atau menghafalkan sesuatu. Juga dapat dimaksudkan dengan sesuatu yang disebut dengan lidah atau suatu yang baik.

Menurut Imam an-Nawawi 
“Berdzikir adalah suatu amalan yang disyari’atkan dan sangat dituntut di dalam Islam. Ia dapat dilakukan dengan hati atau lidah. Afdhalnya dengan kedua-duanya sekaligus”.

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani
“Dan yang dimaksud dengan dzikir adalah mengucapkan dan memperbanyak segala bentuk lafadh yang di dalamnya berisi tentang kabar gembira, seperti kalimat : subhaanallaahi, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar; dan yang semisalnya, doa untuk kebaikan dunia dan akhirat.
Dan termasuk juga dzikir kepada Allah adalah segala bentuk aktifitas amal shalih yang hukumnya wajib ataupun sunnah, seperti membaca Al-Qur’an, membaca Hadiits, belajar ilmu agama, dan melakukan shalat-shalat sunnah”

Macam - Macam Dzikir :
 
a.Dzikir dengan hati:
Seperti engkau mengingat-ngingat nikmatNya, memikirkan penciptaanNya yang sempurna, menyadari akan kehadiranNya yang menyaksikan segala perbuatan kita, menyadari akan ilmuNya Yang Maha Mengetahui apa isi hati kita, menyadari akan PenglihatanNya yang Maha Melihat apa yang kita perbuat, menyadari akan PendengaranNya yang Maha Mendengar ucapan lisan kita, bertawakkal kepadaNya, dst. ini semua dzikir hati.

b.Dzikir dengan hati dan lisan: 
 1. Menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah dan menggunakkannya untuk memuji dan menyanjungNya.
Seperti dengan ucapan “Subhanallah”, “Alhamdulilaah”, “Laa ilaaha illalllah” atau dzikir-dzikir yang semisal.
2.Menyebut perbuatan Allah yang berkaitan dengan nama dan sifatNya.
Misalnya dengan mngatakan: “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar seluruh suara makhlukNya dan Maha Melihat gerak-gerik mereka”
3.Menyebut perintah dan laranganNya (berdakwah)
Misalnya dengan mengatakan: “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan begini” atau mengatakan “Sesungguhnya Allah melarang begini”
4.Menyebut karunia dan kebaikanNya
misalnya dengan mengatakan: “Segala puji bagi Allah, yang telah memberikanku nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat Islam, nikmat Iman dan nikmat berada diatas sunnah nabiNya yang mulia

c.Dzikir dengan hati,Lisan dan Anggota Badan : 
Seperti shalat dan ibadah haji.

Keutamaan Dzikir:

1.Penangkal dari godaan syaithan
Dan Jika Syaithan mengganggumu dengan suatu ganguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushilat:36)

2.Memenuhi timbangan kebaikan di akhirat
(Ucapan) Alhamdulillah memenuhi timbangan dan (ucapan) Subahanallah wal hamdulillah keduanya memenuhi antara langit dan Bumi.”( HR. Muslim dari Abu Malik Al Asy’ary radhiyallahu ‘anhu)

3.Menggugurkan dosa-dosa
Barang siapa yang membaca “Subahanallahi wabihamdih seratur kali dalam sehari , akan digugurkan dosa-dosanya walaupun sebanyak buih dilautan.” (Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)

4.Diingat oleh Allah SWT
Berzikirlah kalian kepada-Ku niscaya Akau akan mengingat-ingat kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Ku (atas berbagai nikmat yang Aku berikan kepad kalian) serta janganlah kalian mengikarinya. (al-Baqarah:152)

5.Ditambah rizkinya oleh Allah SWT.
Maka aku katakan kepada mereka: Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakan harta dan anak-anakmu, dan menggandakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh:10-12)



Wallahu a'lam Bish-shawab

 

 

Sabtu, 20 Oktober 2012

TAUBAT,SYARAT DAN KEUTAMAANNYA


TAUBAT

       Manusia dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci , bersih tanpa dosa.Namun seiring waktu manusia terpengaruh oleh lingkungannya dan bisikan hawa nafsunya , sehingga terjerumus ka dalam berbagai dosa , baik dosa besar maupun dosa kecil.Tidak ada manusia yang bisa terhindar dari dosa,namun sebaik-baiknya manusia adalah yang segera bertaubat dari dosanya.
Taubat memiliki arti: berhenti melakukan kemaksiatan dan kembali menuju ketaatan.  
       Di antara kita pernah berbuat kesalahan terhadap diri sendiri sebagaimana terhadap keluarga dan kerabat bahkan terhadap Allah. Dengan segala rahmatnya, Allah memberikan jalan kembali kepada ketaatan, ampunan dan rahmat-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Penyayang dan Maha Penerima Taubat. Seperti diterangkan dalam surat Al Baqarah: 160
 "Dan Akulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

Taubat hukumnya wjib bagi orang yang beriman
“Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sungguh-sungguh.” (QS. At-Tahrim : 8) 

Syarat agar taubat kita diterima:
1.Menyesali perbuatan dosa yang dilakukan
2.Berhenti dari perbuatan dosa tersebut.
3.Bertekad untuk tidak mengulanginya.
4.Apabila dosa tersebut berkaitan dengan hak orang lain , maka harus minta maaf kepada orang tersebut serta mengganti barang yang telah dirusak atau mengembalikan barang yang telah dicuri dsb.

Keutamaan Taubat :
Jika dosa tersebut berkaitan dengan hak anak Adam, maka ada satu hal lagi yang harus ia lakukan, yakni dia harus meminta maaf kepada saudaranya yang bersangkutan, seperti minta diikhlaskan, mengembalikan atau mengganti suatu barang yang telah dia rusakkan atau curi dan sebagainya. (1) Menyesal, (2) Berhenti dari dosa, dan (3) Bertekad untuk tidak mengulanginya. (1) Menyesal, (2) Berhenti dari dosa, dan (3) Bertekad untuk tidak mengulanginya. 1) Menyesal, (2) Berhenti dari dosa, dan (3) Bertekad untuk tidak mengulanginya. (1) Menyesal, (2) Berhenti dari dosa, dan (3) Bertekad untuk tidak mengulanginya. 1.Diampuni dosanya :
“Katakanlah: Wahai para hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya sendirinya, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah Mengampuni semua dosa dan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

2.Dicintai Allah SWT
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

3.Mendatangkan keberuntungan:
“Bertaubatlah kepada Allah, wahai orang-oran beriman sekalian agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur : 31)

Batas Waktu Untuk Bertaubat: 

1.Sebelum Matahari Terbit dari barat
“Barangsiapa yang taubat sebelum terbitnya matahari dari arah barat maka Allah terima taubatnya.” (HR Muslim)

2.Sebelum nyawa sampai tenggorokan(sekarat)
 “Dan Taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang berbuat kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seorang diantara mereka barulah dia mengatakan, ‘Saya benar-benar taubat sekarang.’” (QS. An-Nisa : 18)

Ya Allah berilah kami taufik agar senantisa bertaubat dengan sungguh-sungguh dan terimalah amalan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.










SYARAT DAN RUKUN SYAHADATAIN

MAKNA , SYARAT DAN RUKUN SYAHADATAIN

Setiap muslim pasti sering mengucapkan dua kalimat syahadat , baik di dalam shalat maupun diluar shalat.
Tapi syahadat yang kita baca tidak ada gunanya kalau tidak memenuhi syarat dan rukunnya.Berikut sedikit
penjelasan makna syarat dan rukun syahadat yang harus kita amalkan dalam kehidupan kita.
 

 MAKNA SYAHADATAIN

Makna Syahadat Laa ilaaha illallah :
Yaitu beri'tikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala, menta'ati hal terse-but dan mengamalkannya. La ilaaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah, siapa pun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah.

Jadi makna kalimat ini secara ijmal (global) adalah, "Tidak ada sesembahan yang hak selain Allah". Khabar "Laa " harus ditaqdirkan "bi haqqi" (yang hak), tidak boleh ditaqdirkan dengan "maujud " (ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini Tentu kebatilan yang nyata.
Kalimat "Laa ilaaha illallah" telah ditafsiri dengan beberapa penafsiran yang batil, antara lain:

Makna Syahadat  Anna Muhammadan Rasulullah :
Yaitu mengakui secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan RasulNya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: menta'ati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah
Allah kecuali dengan apa yang disyari'atkan.

RUKUN SYAHADATAIN

Rukun Syahadat Laa ilaaha illallah :
Laa ilaaha illallah mempunyai dua rukun:
An-Nafyu atau peniadaan: "Laa ilaha" membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.

Al-Itsbat (penetapan): "illallah" menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.

Makna dua rukun ini banyak disebut dalam ayat Al-Qur'an, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beri-man kepada Allah, makasesungguhnya ia telah berpegang kepa-da buhul tali yang amat kuat ..." [Al-Baqarah: 256]

Firman Allah, "siapa yang ingkar kepada thaghut" itu adalah makna dari "Laa ilaha" rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah, "dan beriman kepada Allah" adalah makna dari rukun kedua, "illallah". 

Rukun Syahadat Muhammad Rasulullah :
Syahadat ini juga mempunyai dua rukun, yaitu kalimat "'abduhu wa rasuluh " hamba dan utusanNya). Dua rukun ini menafikan ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan) pada hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau adalah hamba dan rasulNya. Beliau adalah makhluk yang paling sempurna dalam dua sifat yang mulia ini, di sini artinya hamba yang menyembah. Maksudnya, beliau adalah manusia yang diciptakan dari bahan yang sama dengan bahan ciptaan manusia lainnya. Juga berlaku atasnya apa yang berlaku atas orang lain.

firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Katakanlah: 'Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, ...'." [Al-Kahfi : 110]

Beliau hanya memberikan hak ubudiyah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan karenanya Allah Subhanahu wa Ta'ala memujinya:

"Artinya : Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya." [Az-Zumar: 36]

"Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur'an) ..."[Al-Kahfi: 1]

"Artinya : Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ..." [Al-Isra': 1]

Sedangkan rasul artinya, orang yang diutus kepada seluruh manusia dengan misi dakwah kepada Allah sebagai basyir (pemberi kabar gembira) dan nadzir (pemberi peringatan).

Persaksian untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan dua sifat ini meniadakan ifrath dan tafrith pada hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena banyak orang yang mengaku umatnya lalu melebihkan haknya atau mengkultuskannya hingga mengangkatnya di atas martabat sebagai hamba hingga kepada martabat ibadah (penyembahan) untuknya selain dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka ber-istighatsah (minta pertolongan) kepada beliau, dari selain Allah.

SYARAT-SYARAT SYAHADATAIN

Syarat-syarat Laa ilaha illallah :
Bersaksi dengan laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat. Tanpa syarat-syarat itu syahadat tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya. Secara global tujuh syarat itu adalah:

1. 'Ilmu (Mengetahui).
Artinya memahami makna dan maksudnya. Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan, yang menafikan ketidaktahuannya dengan hal tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya :... Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya). [Az-Zukhruf : 86]

Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illallah, dan memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Seandainya ia mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna.

2.Yaqin (yakin).
Orang yang mengikrarkannya harus meyakini kandungan sya-hadat itu. Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka persaksian itu.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu ..." [Al-Hujurat : 15]

Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Siapa yang engkau temui di balik tembok (kebon) ini, yang menyaksikan bahwa tiada ilah selain Allah dengan hati yang meyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan) Surga." [HR. Al-Bukhari]

Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.

3.Qabul (menerima).
Menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat; menyem-bah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selainNya.

Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan menta'ati, maka ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah:

"Artinya : Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" [Ash-Shafat: 35-36]

Ini seperti halnya penyembah kuburan dewasa ini. Mereka mengikrarkan laa ilaaha illallah, tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum me-nerima makna laa ilaaha illallah.

4.Inqiyaad (Tunduk dan Patuh dengan kandungan Makna Syahadat).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh." [Luqman : 22

Al-'Urwatul-wutsqa adalah laa ilaaha illallah. Dan makna yuslim wajhahu adalah yanqadu (patuh, pasrah).

5. Shidq (jujur).
Yaitu mengucapkan kalimat ini dan hatinya juga membenarkan-nya. Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepa-da Allah dan Hari kemudian', padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta." [Al-Baqarah: 8-10]

6.Ikhlas.
Yaitu membersihkan amal dari segala debu-debu syirik, dengan jalan tidak mengucapkannya karena mengingkari isi dunia, riya' atau sum'ah. Dalam hadits 'Itban, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illalah karena menginginkan ridha Allah." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

7.Mahabbah (Kecintaan).
Maksudnya mencintai kalimat ini serta isinya, juga mencintai
orang-orang yang mengamalkan konsekuensinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah." [Al-Baqarah: 165]

Maka ahli tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahli syirik mencintai Allah dan mencintai yang lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan isi kandungan laa ilaaha illallah.

Syarat Syahadat  Anna Muhammadan Rasulullah :
1. Mengakui kerasulannya dan meyakininya di dalam hati.
2. Mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan.
3. Mengikutinya dengan mengamalkan ajaran kebenaran yang telah dibawanya serta meninggalkan kebatilan yang telah dicegahnya.
4. Membenarkan segala apa yang dikabarkan dari hal-hal yang gha-ib, baik yang sudah lewat maupun yang akan datang.
5. Mencintainya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, harta, anak, orangtua serta seluruh umat manusia.
6. Mendahulukan sabdanya atas segala pendapat dan ucapan orang lain serta mengamalkan sunnahnya.

 KONSKUENSI SYAHADATAIN

Konsekuensi  syahadat Laa ilaha illallah :
Yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala ma-cam yang dipertuhankan sebagai keharusan dari peniadaan laa ilaaha illallah . Dan beribadah kepada Allah semata tanpa syirik sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan illallah.

Banyak orang yang mengikrarkan tetapi melanggar konsekuensinya. Sehingga mereka menetapkan ketuhanan yang sudah dinafikan, baik berupa para makhluk, kuburan, pepohonan, bebatuan serta para thaghut lainnya.
Mereka berkeyakinan bahwa tauhid adalah bid'ah. Mereka menolak para da'i yang mengajak kepada tauhid dan mencela orang yang beribadah hanya kepada Allah semata.

Konsekuensi Syahadat  Muhammad Rasulullah :
Yaitu mentaatinya, membenarkannya, meninggalkan apa yang dilarangnya, mencukupkan diri dengan mengamalkan sunnahnya, dan meninggalkan yang lain dari hal-hal bid'ah dan muhdatsat (baru), serta mendahulukan sabdanya di atas segala pendapat orang.

YANG MEMBATALKAN SYAHADATAIN

Yaitu hal-hal yang membatalkan Islam, karena dua kalimat syahadat itulah yang membuat seseorang masuk dalam Islam. Mengucap-kan keduanya adalah pengakuan terhadap kandungannya dan konsisten mengamalkan konsekuensinya berupa segala macam syi'ar-syi'ar Islam. Jika ia menyalahi ketentuan ini, berarti ia telah membatalkan perjanjian yang telah diikrarkannya ketika mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut.

1.Syirik
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya." [An-Nisa': 48]

"Artinya : ... Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun." [Al-Ma'idah: 72]

Termasuk di dalamnya yaitu menyembelih karena selain Allah, misalnya untuk kuburan yang dikeramatkan atau untuk jin dan lain-lain.

2.Orang yang menjadikan antara dia dan Allah perantara-perantara. Ia berdo'a kepada mereka, meminta syafa'at kepada mereka dan bertawakkal kepada mereka. Orang seperti ini kafir secara ijma'. Orang yang tidak mau mengkafirkan orang-orang musyrik dan orang yang masih ragu terhadap kekufuran mereka atau mem-benarkan madzhab mereka, dia itu kafir.

3.Orang yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuk beliau, atau hukum yang lain lebih baik dari hukum beliau.

4.Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sekali pun ia juga mengamalkannya, maka ia kafir. Siapa yang menghina sesuatu dari agama Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam atau pahala maupun siksanya, maka ia kafir.

firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Katakanlah: 'Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?' Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman." [At-Taubah: 65-66]

5.Sihir
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : ... sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada se-orangpun sebelum mengatakan: 'Sesungguhnya kami hanya co-baan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir'."[Al-Baqarah: 102]

6.Mendukung kaum musyrikin dan menolong mereka dalam memusuhi umat Islam. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim." [Al-Ma'idah: 51]

7.Siapa yang meyakini bahwa sebagian manusia ada yang boleh keluar dari syari'at Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam , seperti halnya Nabi Hidhir boleh keluar dari syariat Nabi Musa alaihis salam, maka ia kafir.

8.Berpaling dari agama Allah, tidak mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa." [As-Sajadah: 22]


Wallohu a'lam bish-showab




Kamis, 18 Oktober 2012

Shotat Fardhu/Wajib


Pengertian Sholat :
 Menurut bahasa shalat artinya adalah berdoa, sedangkan menurut istilah shalat adalah suatu perbuatan serta perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan persyaratkan yang ada.

Dalil Diwajibkannya Sholat :

 1.Alqur'an Surat An-nisa Ayat 103
"Maka dirikanlah sholat itu,Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atasorang-orang yang beriman "

2.Al-qur'an Surat Al-baqoroh Ayat 238
"Peliharalah segala sholat (mu) dan (peliharalah) sholat wusthoo "

3.Hadits Nabi SAW :
"Islam dibangun diatas lima perkara,bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan alloh , Mendirikan sholat , Membayar Zakat , Melaksanakan ibadah Haji ke Baitulloh dan berpuasa di bulan Ramadhan (HR.Bukhari no.7 )

Keutamaan Sholat :

“Shalat lima waktu dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya adalah penghapus untuk dosa antara keduanya selama tidak melakukan dosa besar.” (HR. Muslim no. 342)

“Tidaklah seorang muslim didatangi shalat fardlu, lalu dia membaguskan wudlunya dan khusyu’nya dan shalatnya, melainkan itu menjadi penebus dosa-dosanya terdahulu, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu (berlaku) pada sepanjang zaman.” (HR. Muslim no. 335)

“Tidak akan masuk neraka seseorang yang shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya.” (HR. Muslim no. 1003)

Syarat Wajib Sholat:
1. Beragama Islam
2. Memiliki akal yang waras alias tidak gila atau autis
3. Berusia cukup dewasa
4. Telah sampai dakwah islam kepadanya
5. Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
6. Sadar atau tidak sedang tidur

Syarat sah sholat :
1. Masuk waktu sholat
2. Menghadap ke kiblat
3. Suci dari najis baik hadas kecil maupun besar
4. Menutup aurat

Rukun Shalat:
1. Niat
2. Berdiri bagi yang mampu
3. Takbiratul ihram
4. Membaca surat al-fatihah
5. Ruku / rukuk yang tumakninah
6. I'tidal yang tuma'ninah
7. Sujud 2 kali yang tumaninah
8. Duduk di antara dua sujud yang tuma'ninah
9. Duduk tasyahud akhir yang tuma'ninah
10.Membaca Tasyahud  akhir
11. Membaca salawat Nabi Muhammad SAW
12. Membaca salam yang Pertama
13.Tertib dalam mengerjakan rukun-rukun tersebut

Selasa, 16 Oktober 2012

Zakat Fitrah


1. Pengertian Zakat Fitrah

Zakat Fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang ditetapkan agar menjadi fitrah.

Mengapa disebut Zakat Fitrah?

Sebutan yang populer di kalangan masyarakat kita adalah zakat fitrah. Mengapa demikian? Karena maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari kata fitrah, yaitu asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib atas setiap jiwa (Fathul Bari, ). Semakna dengan itu Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi menjelaskan bahwa ucapan para ulama “wajib fitrah” maksudnya wajib zakat fitrah. (Al-Mishbahul Munir: )
Namun yang lebih populer di kalangan para ulama –wallahu a’lam– disebut زَكَاةُ الْفِطْرِ zakat fithri atau صَدَقَةُ الْفِطْرِ shadaqah fithri. Kata Fithri di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadhan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani menerangkan bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas jika merujuk pada sebab musababnya dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat.


 2.Hukum Zakat Fitrah
     
         Pendapat yang terkuat, zakat fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antara mereka adalah Abul Aliyah, Atha’ dan Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan Al-Imam Al-Bukhari. Bahkan Ibnul Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya fitrah, walaupun tidak benar jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan bahwa mayoritas para ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah.
 Dasar mereka adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْ
  وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Dalam lafadz Al-Bukhari yang lain:

أمر النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ

“Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari )

Dari dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bagi kita bahwa Nabi menfardhukan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah wajib.

 3. Yang Wajib Membayar Zakat Fitrah

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan dalam hadits sebelumnya bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka maupun budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.

Nafi’ mengatakan:

فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ

“Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari )

 4.Selain Muslim tidak Kewajiban Zakat

Sebagai contoh seorang anak yang kafir, apakah ayahnya (yang muslim) berkewajiban mengeluarkan zakatnya? Jawabnya: tidak. Karena Nabi memberikan catatan di akhir hadits bahwa kewajiban itu berlaku bagi kalangan muslimin (dari kalangan muslimin). Walaupun dalam hal ini ada pula yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun pendapat tersebut tidak kuat, karena tidak sesuai dengan dzahir hadits Nabi.

5.Apakah Janin Wajib Dizakati? 

Jawabnya: tidak. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat tersebut kepada (anak kecil), sedangkan janin tidak disebut (anak kecil) baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ tentang tidak diwajibkannya zakat fitrah atas janin. Walaupun sebetulnya ada juga yang berpendapat wajibnya atas janin, yaitu sebagian riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm dengan catatan –menurutnya– janin sudah berumur 120 hari. Pendapat lain dari Al-Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai dengan hadits di atas.

6.Wajibkah bagi Orang yang Tidak Mampu?

 Ibnul Qayyim mengatakan bahwa: “Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya.” (Bada`i’ul Fawa`id,)
Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, maka Asy-Syaukani menjelaskan: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, maka tidak berkewajiban membayar fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah).” (Ad-Darari)

7.Dalam Bentuk Apa Zakat Fitrah dikeluarkan?

  Hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang lalu. Dan lebih jelas lagi dengan riwayat berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُعْطِيْهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ

“Dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kami memberikan zakat fitrah di zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum, ataupun 1 sha’ kismis (anggur kering)’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari )

Kata طَعَامٍ (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:

قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَاْلأَقِطُ وَالتَّمْرُ

“Ia mengatakan: ‘Kami mengeluarkannya (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri’. Abu Sa’id mengatakan lagi: ‘Dan makanan kami saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, dan kurma’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.
Inilah pendapat yang kuat yang dipilih oleh mayoritas para ulama.
Juga ada pendapat lain yaitu zakat fitrah diwujudkan hanya dalam bentuk makanan yang disebutkan dalam hadits Nabi. Ini adalah salah satu pendapat Al-Imam Ahmad. Namun pendapat ini lemah. (Majmu’ Fatawa,)

8.Waktu Mengeluarkannya

Menurut sebagian ulama bahwa jatuhnya kewajiban fitrah itu dengan selesainya bulan Ramadhan. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fitrah itu sebelum shalat sebagaimana dalam hadits yang lalu.

وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

“Dan Nabi memerintahkan agar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”
Dengan demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak sebelum shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud, yaitu untuk mencukupi mereka di hari itu.
Namun demikian, syariat memberikan kelonggaran kepada kita dalam penunaian zakat, di mana pelaksanaannya kepada amil zakat dapat dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan riwayat berikut ini:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُعْطِيْهَا الَّذِيْنَ يَقْبَلُوْنَهَا وَكَانُوا يُعْطُوْنَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Dulu Abdullah bin Umar memberikan zakat fitrah kepada yang menerimanya1. Dan dahulu mereka menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.” (Shahih, HR. Al-Bukhari )

Dalam riwayat Malik dari Nafi’:

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ

“Bahwasanya Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas yang zakat dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.” (Al-Muwaththa`)

Sehingga tidak boleh mendahulukan lebih cepat daripada itu, walaupun ada juga yang berpendapat itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar, karena demikianlah praktek para shahabat.

9.Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Shalat Id?

Hal ini telah dijelaskan oleh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Id) maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sekedar sedekah dari sedekah-sedekah yang ada.” (Hasan, HR. Abu Dawud )

Ibnul Qayyim mengatakan: “Konsekuensi dari dua2 hadits tersebut adalah tidak boleh menunda penunaian zakat sampai setelah Shalat Id; dan bahwa kewajiban zakat itu gugur dengan selesainya shalat. Inilah pendapat yang benar karena tiada yang menentang dua hadits ini dan tidak ada pula yang menghapus serta tidak ada ijma’ yang menghalangi untuk berpendapat dengan kandungan 2 hadits itu. Dan dahulu guru kami (Ibnu Taimiyyah) menguatkan pendapat ini serta membelanya.” (Zadul Ma’ad, )
Atas dasar itu, maka jangan sampai zakat fitrah diserahkan ke tangan fakir setelah Shalat Id, kecuali bila si fakir mewakilkan kepada yang lain untuk menerimanya.

10.Para Penerima Zakat

Penerima Zakat secara umum ditetapkan dalam 8 golongan / asnaf sesuai dengan surat At-Taubah:60 (fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah, ibnu sabil) namun menurut beberapa ulama khusus untuk zakat fitrah mesti didahulukan kepada dua golongan pertama yakni fakir dan miskin. Pendapat ini disandarkan dengan alasan bahwa jumlah/nilai zakat yang sangat kecil sementara salah satu tujuannya dikelurakannya zakat fitrah adalah agar para fakir dan miskin dapat ikut merayakan hari raya.

Definisi Fakir
Para ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih, kata fakir ini sering bersanding dengan kata miskin, yang berarti masing-masing punya pengertian tersendiri. Pembahasan masalah ini cukup panjang dan membutuhkan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara ringkas pendapat yang nampaknya lebih kuat:
Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya , menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9 pendapat.
Di antaranya, bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan jumhur ulama .
Di antara alasannya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih dahulu menyebut fakir daripada miskin dalam surat At-Taubah: 60.


إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat…”

Tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dari yang terpenting. Juga dalam surat Al-Kahfi: 79, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera…”

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mereka miskin padahal mereka memiliki kapal.
Jadi baik fakir maupun miskin sama-sama tidak punya kecukupan, walaupun fakir lebih kekurangan dari miskin.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya : “Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit kecukupan tapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang mendapatkan setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.”

 11.Hikmah Zakat Fitrah

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:

فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (Hasan, HR. Abu Dawud )



Wallahu a’lam bish-shawab.

Senin, 15 Oktober 2012

Zakat


Pengertian Zakat

Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariah.

Hukum Zakat.

Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti sholat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia dimana pun dia berada.

Macam-Macam Zakat:

  1. Zakat fitrah adalah Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
  2. Zakat maal (harta) adalah Zakat hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.

Yang berhak menerima Zakat

Yang berhak menerima Zakat menurut kaidah Islam terdiri dari 8 macam :
  1. Fakir : Orang yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
  2. Miskin : Orang yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
  3. Amil : Orang yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
  4. Mu'allaf : Orang yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya.
  5. Hamba sahaya : Orang yang ingin memerdekakan dirinya
  6. Gharimin : Orang yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
  7. Fisabilillah : Orang yang berjuang di jalan Allah.
  8. Ibnus Sabil : Orang yang kehabisan biaya di perjalanan.
Hikmah Zakat :
  • Bisa mempererat tali persaudaraan antara yang miskin dan yang kaya
  • Membuang perilaku buruk dari seseorang
  • Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan seseorang
  • Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
  • Untuk pengembangan potensi ummat
  • Memberi dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
  • Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.

Pengertian Fiqih

PENGERTIAN FIQIH

       Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah: “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78) 
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511) 

Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti: 
1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam
     Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya. Contohnya: Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:         “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)
       Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12) Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya. Penjelasannya sebagai berikut: Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat.
Yang perinciannya sebagai berikut:
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
 2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak. Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

Sumber-Sumber Fiqh Islam 
      Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh: Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90) Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
 2. As-Sunnah As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan. Contoh perkataan/sabda Nabi: “Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708) Contoh perbuatan: Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.” Contoh persetujuan: Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya. As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595) Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
 3. Ijma’ Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar). Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396) Contohnya: Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak. Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’. Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas Qiyas memiliki empat rukun:
1. Dasar (dalil).
2. Masalah yang akan diqiyaskan.
3. Hukum yang terdapat pada dalil.
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh: Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer. Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i). ***

Sumber: Majalah Fatawa